Kesalahan Sejarah


Kesalahan Sejarah Tentang Syekh Siti Jenar Yang Menjadi Fitnah & Controversi............

> Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan 'Ali] > bin Sayyid Shalih> bin Sayyid 'Isa 'Alawi> bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin> bin Sayyid 'Abdullah Khan> bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan> bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih> bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath> bin Sayyid 'Ali Khali Qasam> bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair> bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah> bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir> bin Sayyid 'Ubaidillah> bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir> bin Sayyid 'Isa An-Naqib> bin Sayyid Muhammad An- Naqib> bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi> bin Imam Ja'far Ash-Shadiq> bin Imam Muhammad al-Baqir> bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin> bin Imam Husain Asy-Syahid> bin Sayyidah Fathimah Az- Zahra> binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw. Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran.

Sabtu, 28 Desember 2013

Rasul Muhammad Saw Pemberi Syafaat | Hikmah Kehidupan

Rasul Muhammad Saw Pemberi Syafaat | Hikmah Kehidupan

SEJARAH SYEH SITI JENAR


Add caption
Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani
Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.

Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.

Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.

Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.

Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.

Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:

1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.

Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.

Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.

Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….

2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.

3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.

4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“

5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]

Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.

Syekh Siti Jenar Sepupu Guru Sunan Gunung Jati


Oleh: Abdul Munir Mulkhan
Berikut ini sekilas uraian tentang kehidupan Syekh Siti Jenar di antara 9 wali di Tanah Jawa. Syekh Siti Jenar, merupakan tokoh paling menarik, paling populer, dan paling kontroversial di antara para wali yang dikenal di dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Walaupun tidak dicatat secara resmi sebagai salah satu wali di antara Wali Songo (sembilan) namun Syekh Siti Jenar adalah sepupu guru Sunan Gunung Jati yang berguru kepada Syekh Datu Kahfi atau Syekh Nurul Jati di Gunung Ngamparan Jati Cirebon. Syekh Nurul Jati ini adalah sepupu Syekh Siti Jenar yang di Cirebon juga dikenal sebagai Abdul Jalil (ayah Syekh Siti Jenar adalah saudara kandung Syekh Datu Kahfi).
Di satu sisi, ada sejumlah petunjuk bahwa Syekh Siti Jenar adalah manusia historis yang hidup sejaman dengan guru Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, yaitu Syekh Nurul Jati. Di sisi lain, ia bagai datang dari negeri antah berantah dunia mistis ketika dikisahkan berasal dari cacing. Dari sinilah kemudian muncul sesosok tokoh yang kemudian dikenal dengan nama Syekh Siti Jenar dengan pandangan dan perilaku yang menimbulkan perdebatan yang tak pernah usai. Dari sejak saat kemunculannya pada sekitar abad ke-15 hingga saat ini di awal abad ke-21 perdebatan tentang cara pandang dan sikap hidup Syekh Siti Jenar tidak pernah padam.
Dikisahkan, saat itu Sunan Kalijaga sedang mengajar ilmu “kun Fayakun” kepada Sunan Bonang di atas sebuah perahu. Di tengah pengajaran itu sang perahu ternyata bocor yang jika tidak segera ditambal bisa berakibat perahu dan penumpangnya akan karam di tengah sebuah danau. Suna Kalijaga segera menepi lalu mengambil sebongkah lumpur dari tanah liat untuk ditempel di tempat perahu yang bocor tersebut. Tanpa sengaja dalam lumpur itu ternyata ada seekor cacing yang terbawa menempel di dinding perahu. Pengajaran ilmu “Kun Fayakun” kemudian berlangsun g lancar, hingga Sunan Kalijaga mengetahui ada sesuatu yang mengikuti pengajaran saat itu. Seketika itu pula muncul sesosok manusia yang kemudian hari dikenal sebagai Syekh Siti Jenar.
Begitulah satu versi kisah kemunculan Syekh Siti Jenar di dalam dinamika sejarah Nusantara yang kemudian membuat heboh kerajaan Islam di bawah Raja Raden Fatah yang baru berdiri tidak lama sesudah Majapahit runtuh. Sumber dokumen berbasis serat dalam bentuk tembang yang sekurangnya meliputi dua ragam. Pertama diterbitkan oleh Tan Khoen Swie tahun 1931 di bawah judul “Boekoe Siti Djenar Ingkang Tulen” karangan Sunan Giri Kedaton. Sumber kedua ditulis oleh Raden Sasrawijoyo berjudul Serat Syeh Siti Djenar terbitan Keluarga Bratakesawa tahun 1958.
Dari soal bagaimana memenuhi ajaran syariah hingga apa yang dimaksud dengan kematian, kehidupan, surga, dan neraka, cara pandang Syekh Siti Jenar selalu menarik dikaji karena relatif berbeda dengan pandangan umumnya pemeluk Islam. Namun demikian jika ditelaah secara lebih jernih, cara pandang Syekh Siti Jenar tentang berbagai persoalan tersebut bukanlah barang baru. Cara pandang Syekh Siti Jenar mengenai berbagai permasalahan tersebut bisa ditemukan dalam sejarah pemikiran Islam dari masa awal tumbuh-kembangnya pemikiran Islam itu sendiri. Demikian pula sikap akomodatifnya terhadap elite keturunan Majapahit yang tetap konsisten atas keyakinan keagamaan lamanya seperti Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenongo.
Sikapnya yang terbuka dan kemampuannya melampaui birokrasi ritual keagamaan Islam membuat Syekh Siti Jenar tampak lebih populer dibanding para wali yang resmi diakui oleh Kerajaan Demak Bintoro. Kehadiran Syekh Siti Jenar mampu menembus batas-batas kelas dari rakyata jelata, kaum pinggiran, elite birokrasi, kaum abangan, kalangan santri, hingga kelas atas seperti Presiden Abdurrahman Wahid. Misteri kehadiran Syekh Siti Jenar diikuti dongeng tentang kisah-kisah mistis tentang kesaktian atau kedigdayaan sang tokoh. Ia dipercaya tidak mempan senjata (nora tedas tapak paluning gurindo), hingga mampu menangkap bahasa batin, bisa melanglang ke alam gaib hingga alam kematian karena ia dipercaya memiliki kemampuan mengendalikan nafas kehidupan (ma’ul hayat).
Berdasar keyakinan tentang kemahakuasaan Tuhan di kalangan pemeluk Islam yang bisa membuat apa saja yang mustahil di mata manusia, Syekh Siti Jenar diyakini juga memiliki kemampuan linuwih seperti itu. Bagi Syekh Siti Jenar, hidup di dunia ini adalah kematian dan kehidupan sesugguhnya baru dimulai saat manusia menemui ajal kematiannya ketika nyawa sesorang diambil oleh malaikat Izrail. Dari sini banyak orang salah memahami cara pandang Syekh Siti Jenar bahwa syariah baru berlaku nanti dalam kehidupan sesungguhnya yang mutlak abadi yaitu sesudah kematian. Tidak ada gunanya salat, puasa, haji dan zakat jika dilakukan oleh manusia yang masih hidup di alam kematian yang masih membutuhkan makan, minum, kekuasaan, dan dikenai rasa haus dan lapar. Kewajiban ibadah itu baru berarti pada saat manusia yang hidup itu bisa menjalani kematian yang tidak lagi butuh makan, minum, gengsi, kekuasaan, dan tidak lagi dikenai rasa lapar dan sakit. Inilah pengertian ikhlas dan tidak riya dalam beribadah.
Seperti pengetahuan yang dimiliki oleh publik muslim, manusia memiliki hubungan geneologis dengan Sang Penciptanya yaitu Allah Tuhan Yang Maha Esa ketika jasad manusia ditiupi ruh-Nya sebagai penanda dimulainya kehidupan manusia. Dari sini muncul cara pandang tentang dua unsur dasar pembentuk manusia, yaitu unsur al-nasut (dimensi kemanusiaan yang jasadi biologis) dan unsur al-lahut (yang ruhani non-historis). Manusia sempurna atau insan kamil ialah saat al-nasut dan al-lahut terintegrasi dalam kehidupan seseorang. Dari sini muncul konsep yang kemudian dikenal sebagai cara pandang wihdatul-wujud atau ittihad, manunggaling kawulo-gusti yaitu bersatunya manusia dengan asal-muasal dirinya yaitu Tuhan Sang Pencipta.
Secara konseptual, di saat terjadi penyatuan manusia-Tuhan itulah segala yang mustahil menjadi mungkin. Apa yang mustahil dilakukan seseorang sebelum menyatu dengan al-lahutnya menjadi mungkin saat sang al-lahut telah menyatu dalam al-nasutnya. Inilah maksud Syekh Siti Jenar saat menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar tidak ada ketika dipanggil menghadap Raja Demak karena yang ada adalah Tuhan, dan sebaliknya ketika yang diminta menghadap raja itu apa yang disebutnya dengan Tuhan karena yang ada adalah Syekh Siti Jenar. Inilah salah satu makna hadis Nabi yang berbunyi “man arofa nafsahu faqad arofa robbahu” (barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya).
Al-Farabi bahkan menyusun hirarki akal hingga akal kesepuluh untuk menunjukkan hubungan kausal, struktural, dan genealogis manusia dan Tuhan. Manusia adalah puncak mutasi makhluk ciptaan Tuhan yang disebut Al-Ghazali sebagai mikrokosmos. Mengenai manusia merupakan sekurangnya langkap awal mengenal dan mengetahui siapa Tuhan. Dalam tradisi Jawa, orang mengenal apa yang dimaksud dengan “jagad cilik” dan “jagad gede” dalam memahami hubungan manusia dan Tuhan selain konsep “warongko manjing curigo”. Karena itu cara pandang Syekh Siti Jenar bukanlah sesuau yang asing dalam sejarah pemikiran Islam, termasuk dalam kaitannya dengan pandangan Al-Hallaj tentang Anal-Haq.
Menjadi persoalan ketika ada sebagian yang memandang soal-soal ketuhanan yang rumit dan gaib itu tidak pas diajarkan kepada semua kelas sosial. Sementara bagi Syekh Siti Jenar, semua orang dari semua kelas berhak memperoleh pengajaran pada tingkat paling mendasar tentang Tuhan. Termasuk soal surga dan neraka. Dari sini sebenarnya bermula penghakiman Syekh Siti jenar sebagai melakukan tindakan sesat karena bisa mengganggu stabilitas kekuasaan politik Demak Bintoro ketika itu.
Terakhir, kiranya perlu juga dibaca secara kritis kisah tentang wali songo dalam sejarah Islam Nusantara. Pertama, ke-9 wali itu tidak hidup seluruhnya sezaman. Kedua, sebagian besar merupakan keluarga keturunan Maulana Malik Ibrahim. Dari sini orang bisa memahami dimana dan bagaimana posisi Syekh Siti Jenar. Rentang masa hidup wali songo bisa menjadi bahan kajian menarik untuk melihat interaksi di antara ke-9 wali dan Syekh Siti Jenar, walaupun nama Syekh Siti Jenar tidak tertera dalam sejarah penyebaran Islam di negari ini.
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik/ Syekh Maghribi/ Jumadil Kubro) 1350- 8 April 1419 makam di pekuburan Gapura Wetan Gresik. Istri Maulana Malik Ibrahim adalah Dewi Candrawulan putri Prabu Brawijaya dari istri Ratu Campa. Sementara Raden Rahmat (Sunan Ampel/ putra Maulana Malik Ibrahim, mertua Raden Fatah dari Dewi Murtasiyah, juga mertua Sunan Giri) wafat 1481 dimakamkan di kompleks Masjid Ampel Surabaya. Sunan Ampel lah yang mengangkat (mema-baiat) Raden Fatah sebagai Sultan Demak.
Selanjutnya, Raden Paku (Raden Ainul Yakin/ Sunan Giri/ Prabu Satmata/ Sultan Abdul Fakih, putra Maulana Ishak) dari Blambangan yang hidup sekitar pertengahan abad ke-15 di Giri sd awal abad ke-16, dimakamkan di Bukit Giri Gresik. Dan, Raden Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra Raden Rahmat, sudara sepupu Sunan Kalijaga, mertua Sunan Kudus) wafat 1525, dimakamkan di Tuban. Sedangkan Raden Kosim Syarifuddin (Sunan Drajat, putra Sunan Ampel) hidup di Ampel Denta 1470 sd pertengahan abad ke-16, dimakamkan di Sedayu Gresik.
Sementara itu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, cucu Prabu Siliwangi) lahir Mekkah tahun 1448 dan wafat tahun 1570, dimakamkan di Gunung Jati Desa Astana (berdampingan dengan makam Syekh Siti Jenar) di Cirebon. Raden Ja’far Sadiq (sunan Kudus) wafat 1550, dimakamkan di Kudus. Selanjutnya, Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga) hidup sekitar akhir abad ke-14 hingga sekitar pertengahan abad ke-15, dimakamkan di Kadilangu, Demak. Dan terakhir Raden Said (Raden Prawoto/ Sunan Muria) hidup sekitar abad ke-15 hingga wafat sekitar abad ke-16, dimakamkan di Bukit Muria, Jepara. Sedang Syekh Siti Jenar konon dijatuhi hukuman mati sekitar tahun 1506 M.
Catatan akhir: Pertama kali penulis memperoleh naskah berupa skripsi yang disusun Sdr Dalhar Shodiq, M.Hum (kini dosen Unsoed) tahun 1984. Berikutnya memperoleh naskah Serat Syekh Siti Jenar dari Sdr Ignatius Untoro (toko buku Hien Ho Sing (Sari Ilmu, Maliboro) tahun 1990-an. Terakhir yang ketiga memperoleh naskah Boekoe Siti Djenar Ingkang Tulen, karangan Sunan Giri Kedaton, terbitan Tan Khoen Swie dari Sdr Aris, mahasiswa Pascasajrana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2012.
Bersamaan dengan terbitnya buku Syekh Siti Jenar pertama kali tahun 1985, oleh penerbit Persatuan, penulis memperoleh buku berjudul Kitab Bayan Budiman karangan Mursyidi yang ditulis tahun 1859. Sebagian isi buku ini juga membahas Syekh Siti Jenar dalam rangkaian kisah tentang 100 burung surga. Buku ini berbentuk tembang ditulis dalam huruf Arab pegon. Sampai hari ini penulis telah menulis dan menerbitkan buku bertema Syekh Siti Jenar dengan judul-judul sebagaimana daftar berikut ini (rata-rata mengalami cetak ulang empat kali hingga lebih 20 kali):
Seh Siti Jenar dan Ajaran Wihdaul Wujud (Dialog Budaya dan Pemikiran Jawa-Islam), Yogyakarta, Pertasuan, 1985.
Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa, Yogyakarta, Bentang, 1999.
Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar: Konflik Elite dan Lahirnya Mas Karebet, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2001.
Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnan Syekh Siti Jenar, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2002.
Revolusi Kesadaran dalam Serat-Serat Sufi, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Makrifat Siti Jenar; Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong Cilik, Jakarta, Grafindo Khazanah Ilmu, 2004.
Melipur Hati dengan Kisah Bergizi: Bijak & Jenaka, Jakarta, Zaman, 2008.
Misteri Kematian Syekh Siti Jenar, Bandung, Mizania, 2009.
Guru Sejati Syekh Siti Jenar Guru Sejati, Yogyakarta, Metro Epistema, 2009.
Jalan Hidup Syekh Siti Jenar & Kematian Ki Ageng Pengging: Jejak-Jejak Terakhir Majapahit, Yogyakarta, Metro Epistema, 2012.

Syekh siti jenar

 
Mengkaji sejarah merupakan sebuah upaya yang tidak mudah apalagi bila realitas sejarah tersebut terlah menjadi opini yang menghegemoni atau hanya sekedar suara simbang yang kurang dapat dibuktikan. Kenyataan tersebut menimpa sejarah ulama agung, Syeikh Siti Jenas, Keberadaannya yang misterius membuat pelbagai kalangan terjebak dalam data-data sejarah yang tidak bisa dibuktikan keabsahannya sampai sekarang.
Oleh sebab itu, melalui sebuah karya seorang ulama Jawa TImur, tersohor KH. Abil Fadhol Senori Tuban dalam karyanya “Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah (Sekelumit hikmah tentang wali ke sepuluh). Penulis meraba menampilkan sejarah yang sinkron dengan realitas. Mendengar karya tersebut, tentu kita akan takjub, sebab selama ini yang terkenal di Jawa sebagai penyebar agama Islam adalah walisongo atau wali sembilan. Nah KH, ABil Fadhol ingin menyampaikan realitas abu-abu sejarah yang selama ini terabaikan sebab realitanya Syeikh Siti Jenar sering di klaim sebagai seorang ulama yang sesat dan menyesatkan. Gagasan KH. ABil Fadhol sebenarnya kian bergulir semenjak berpuluh-puluh tahun lalu, tapi karena kehati-hatian beliau kraya-karya beliau tidak di publikasikan secara umum. Akan tetapi saat ini banyak karya beliau yang sudah mulai dilirik oleh Kiai-kiai Pesantren Tanah Jawa, seperti ringkasan Aushah al-Masalik ala al-FIyah Ibnu Malik, Kawakib al-Lamah fi Tahqiq al Musamma bi Ahlussunah Wal Jamaah, Ahlal Musamarah (sebuah karya yang penulis jadikan rujukan utama dalam biografi Syeikh Siti Jenar dalam tulisan ini) dll. Bahkan ada karya beliau tentang Syarah Uqud al Juman fi Ilmi al-Balaghah. Yang belum selesai, karena beliau telah berpulang ke hadiratnya, sehingga proyek balaghah itu nunggu uluran tangan dari pada Kiai di Indonesia. Dan kabar yang penulis terima, tak satupun ulama Indonesia pada saat ini mampu menyelesaikan Maha Karya tersebut. Hanya seorang pakar balaghah dari Yaman lah yang mampu mencoba menyelesaikan, namun penulis tidak akan menyinggung banyak tentang KH. Abil Fadhal, tetapi penulis ingin menuangkan data-data beliau dengan realitas yang penulis jumpai.
Syeikh Siti Jenar mungkin tidak banyak yang mengetahui asal usulnya dikatakan bahwa beliau berasal dari seekor cacing yang berubah menjadi manusia, versi yang lain menyebutkan beliau berasal dari Persia, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa beliau sebagai keturunan seorang empu kerajaan Majapahit.
Bagi penulis sumber-sumber tersebut tidak dapat disalahkan, akan tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara mutlak, penulis hanya ingin menampilkan sosok Syeikh Siti Jenar alias Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil dengan di dukung beberapa data yang realistic, dalam sumber yang penulis terima, beliau merupakan keturunan (cucu) Syeikh Maulana Ishak, Syeikh Maulana Ishak merupakan saudara kandung Syeikh Ibrahim Asmarakandi dan Siti Asfa yang dipersunting Raja Romawi.
Syeikh Maulana Ishak merupakan putra-putri Syeikh Jumadil Kubra yang secara silsilah keturunan sampai ke Sayyidina Husein, Sayyidina Ali, sampai ke Rasulullah. Walaupun dalam versi lain yang Syeikh Maulana Ishak merupakan putra dari Syeikh Ibrahim Asmarakandi. Namun penulis tetap yakin dengan. Syeikh Ibrahim Asmarakandi menikah dengan Dewi Condro Wulan, putri Cempa yang menjadi saudara sekandung istri Prabu Brawijaya yang bernama Dewi Marthaningrum, Prabu Brawijaya (Rungka Wijaya) memiliki banyak istri diantaranya putri raja Cina yang bernama Dewi Martaningrum (Putri Campa) yang melahirkan Raden Patah dan Wandan Kuning yang melahirkan Lembu Peteng.
Sedangkan dari pernikahan Syeikh Ibrahim Asmarakandi dengan Dewi Candrawulan (saudara kandung Dewi Martaningrum, istri Prabu Brawijaya melahirkan tiga buah hati Raden Raja Pendita Raden Rahmat (Sunan Ampel) Sayyidah Zaenab. Setelah dewasa Raden Raja Pendita dan Raden Rahmat mampir ke tanah Jawa untuk mengunjungi bibinya yang dipersunting Prabu Brawijaya, tatkala akan kembali ke negeri Cempa, keduanya dilarang oleh Prabu Brawijaya, karena keadaan Cempa yang tidak aman, maka keduanya pun diberi hadiah sebidang tanag, dan diperbolehkan untuk menikah dan mukim di tanah Jawa, Raja Pendita menikah dengan anak Arya Baribea yang bernama Maduretno, sedangkan Raden Rahmat menikah dengan anak Arya Teja yang bernama Condrowati, dari pernikahan dengan Condrowati Raden Rahmat dianugerahi 5 putra, sayyidah Syarifah, Sayyidah Mutmainnah, Sayyidah Hafshah, Sayyid Ibrahim (Sunan Bonang) dan Sayyid Qosim (Sunan Drajat).
Adapun Syeikh Maulana Ishak menikah dengan seorang putri Pasa dengan dikaruniai dua orang putra, Siti Sarah dan Sayyid Abdul Qodir Raden Rahmat (Sunan Ampel) putra Ibrahim Asmaraqandi menyebarkan Islam di daerah Surabaya, sedangkan pamannya Syeikh Maulana Ishak meninggalkan istrinya di Pasai menuju ke kerajaan Blambangan (Jawa Timur Bagian Timur) walaupun tinggal disebuah bukit di Banyuwangi namun keberadaannya dapat diketahui pihak kerajaan dan beliau berhasil menyelamatkan kerajaan Blambangan dari bencana, sehingga beliau pun diberi hadiah Dewi Sekardadu putri Menak Sembuyu, Raja Blambangan. Pernikahan tersebutlah yang melahirkan Raden Paku Ainul Yakin (Sunan Giri), Sayyid Abdul Qodir dan Sayyidah Sarah sebagi buah hatinya tidak mau ketinggalan dengan ayahnya, keduanya mondok di Pesantren Ampeldenta asuhan Sunan Ampel (yang masih sepupunya) atas perintah Sang Ayah.
Setelah mumpuni keduanya pun dinikahkan, Siti Sarah dinikahi oleh Raden Syahid (Sunan Kalijaga) bin Raden Syakur (Adipati Wilatikta). Sedangkan Sayyid Abdul Qadir mempunyai himmah untuk belajar ilmu Tasawuf kepada Sunan Ampel. Diantara teman-temannya dialah yang sangat paham dalam menyingkap ilmu Tauhid secara tepat, tidak ingkar dan tidak kufur. Sebab tatkala orang seseorang memahami tauhid tentu keyakinannya terhadap Tuhan tidak akan ekstrim kanan (ingkar) atau ekstrim kiri (Kufur) tetapi berada dalam neutral point (Nughtah Muhayyidah)
Kegesitan dalam dunia dakwah melalui kedalaman teologi (tauhid) menarik simpati pelbagai keluarga Kraton Majapahit, termasuk Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenanga untuk memeluk agama Islam, Ki Ageng Pengging dan Ki Ageng Tingkir adalah dua sosok guru yang mendidik Mas Karebet alias Joko Tingkir untuk menjadi manusia yang saleh ritual, sosial dan intelektual sehingga keberadaan Joko Tingkir seorang politisi mampu mendamaikan konflik politik antara Arya Penangsang dapat ditaklukkan, Jaka Tingkir memindahkan pusat kerajaan Demak ke Pajang dan menyerahkan kekuasaannya ke Sutawijaya. Sedangkan beliau mengembara dan berdakwah lewat jalur kultural, hingga meninggal di desa Pringgo Boyo Lamongan. Kesuksesan Ki Ageng Pengging mendidik Joko Tingkir tak lepas dari peran Sunan Abdul Jalil yang juga lihai dalam berpolitik.
Bila anda mengkaji literatur tentang beliau, banyak sekali yang menyebutkan bahwa kematian beliau diakibatkan karena faktor politik. Sebagaimana telah diteliti oleh Agus Sunyoto dalam 300 literatur Jawa. Jadi bukan karena ajaran “manunggaling kawulo gusti” (wahdatul wujud) yang kurang bisa dipahami oleh sebagian kalangan, memang wali sepuluh menyebarkan Islam tidak dengan kekerasan, melainkan dengan kearifan, hikmah, mauidhah hasanah, dan mujadalah lewat mata hati, sehingga akulturasi Budda, Hindu dan Islam adalah sebuah keniscayaa. Akan tetapi esensi ajaran Islam tetap mendominasi dan tidak bercampur dengan syirik dan kufur. Pernahkah kita berfikir, andaikan wali sepuluh memisahkan esensi Islam dengan budaya-budaya non Islam tersebut, tetu mungkin Islam belum mendarah daging dalam di Pulau Jawa hingga sekarang.
Sunan Abdul Jalil juga seorang wali yang juga menempuh metode tersebut, sehingga secara intelektual beliau berada dalam papan atas. Tak heran apabila banyak kalangan elit Majapahit yang masuk Islam. Santri-santrinya yang dikhawatirkan mencegah berdiri dan berkembangnya kerajaan Demak Bintoro. Sungguh sangat kejam hanya demi tegaknya Negara Syariat, Sunan Abdul Jalil di rendahkan reputasinya dan dituduh menyebarkan ajaran sesat.
Hal ini dapat anda buktikan dengan kematian misterius, tanpa diketahi tahun dan tempat eksekusi tersebut. Sehingga seolah-olah beliau hilang begitu saja. Padahal santri-santrinyapun aman dan tidak mendapatkan tekanan dari penguasa, seperti Kiai Ageng Pengging alias Kebo Kenanga yang berhasil mendidik Joko Tingkir. Konflik antara poyek besar Negara Islam yang berpusat di Demak Bintoro dan Glagah Wangi Jepara, inilah yang menjadikan nama harum sebagai Sunan Jepara alias Syeikh Abdul Jalil makamnya yang terletak di dekat Ratu Kalimanyat (Bupati Pertama Jepara) sampai sekarang banyak diziarahi orang. Memang proyek Demak Bintoro merupakan garapan kontraversial, sebabb Raden Patah sebagai pendiri merupakan anak dari Raden Brawijaya, seolah-olah Demak ingin membangun sebuah kerajaan New Majapahit versi Islam. Tak heran bila setelah Raden Trenggono wafat banyak tarik ulur kekuasaan, terutama Glagah Wangi (Jepara) dengan pusat kearajaan (Demak Bintoro) oleh sebab itu tak heran bila kemudian Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang.
Begitulah sekelumit sejarah tentang Syeikh Siti Jenar alias Syeikh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, lebih jelasnya anda dapat mengunjungi makamnya dan dapat bertanya kepada juru kunci makam tersebut. Yang telah menutup rapat-rapat selama bertahun-tahun. Wallahu ‘alaam

Selasa, 24 Desember 2013

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH



SIAPAKAH SYEH SITI JENAR

Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani



Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.

Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.

Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.

Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani.   Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.

Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.

Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.

Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:
1.      Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2.      Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3.      Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten, Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4.      Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.

Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.

Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.

Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.


KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:

1.      Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
2.      “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3.      Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
4.      Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“
5.      Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”

Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:
1)      Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2)      Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3)      Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]

Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.