Oleh: Abdul Munir Mulkhan
Berikut ini sekilas uraian tentang kehidupan Syekh Siti Jenar di
antara 9 wali di Tanah Jawa. Syekh Siti Jenar, merupakan tokoh paling
menarik, paling populer, dan paling kontroversial di antara para wali
yang dikenal di dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Walaupun
tidak dicatat secara resmi sebagai salah satu wali di antara Wali Songo
(sembilan) namun Syekh Siti Jenar adalah sepupu guru Sunan Gunung Jati
yang berguru kepada Syekh Datu Kahfi atau Syekh Nurul Jati di Gunung
Ngamparan Jati Cirebon. Syekh Nurul Jati ini adalah sepupu Syekh Siti
Jenar yang di Cirebon juga dikenal sebagai Abdul Jalil (ayah Syekh Siti
Jenar adalah saudara kandung Syekh Datu Kahfi).
Di satu sisi, ada
sejumlah petunjuk bahwa Syekh Siti Jenar adalah manusia historis yang
hidup sejaman dengan guru Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,
yaitu Syekh Nurul Jati. Di sisi lain, ia bagai datang dari negeri antah
berantah dunia mistis ketika dikisahkan berasal dari cacing. Dari
sinilah kemudian muncul sesosok tokoh yang kemudian dikenal dengan nama
Syekh Siti Jenar dengan pandangan dan perilaku yang menimbulkan
perdebatan yang tak pernah usai. Dari sejak saat kemunculannya pada
sekitar abad ke-15 hingga saat ini di awal abad ke-21 perdebatan tentang
cara pandang dan sikap hidup Syekh Siti Jenar tidak pernah padam.
Dikisahkan, saat itu Sunan Kalijaga sedang mengajar ilmu “kun Fayakun” kepada Sunan Bonang di atas
sebuah perahu. Di tengah pengajaran itu sang perahu ternyata bocor yang
jika tidak segera ditambal bisa berakibat perahu dan penumpangnya akan
karam di tengah sebuah danau. Suna Kalijaga segera menepi lalu mengambil
sebongkah lumpur
dari tanah liat untuk ditempel di tempat perahu yang bocor tersebut.
Tanpa sengaja dalam lumpur itu ternyata ada seekor cacing yang terbawa
menempel di dinding perahu. Pengajaran ilmu “Kun Fayakun” kemudian
berlangsun g lancar, hingga Sunan Kalijaga mengetahui ada sesuatu yang
mengikuti pengajaran saat itu. Seketika itu pula muncul sesosok manusia
yang kemudian hari dikenal sebagai Syekh Siti Jenar.
Begitulah satu versi kisah kemunculan Syekh Siti Jenar di dalam
dinamika sejarah Nusantara yang kemudian membuat heboh kerajaan Islam di
bawah Raja Raden Fatah yang baru berdiri tidak lama
sesudah Majapahit runtuh. Sumber dokumen berbasis serat dalam bentuk
tembang yang sekurangnya meliputi dua ragam. Pertama diterbitkan oleh
Tan Khoen Swie tahun 1931 di bawah judul “Boekoe Siti Djenar Ingkang
Tulen” karangan Sunan Giri Kedaton. Sumber kedua ditulis oleh Raden
Sasrawijoyo berjudul Serat Syeh Siti Djenar terbitan Keluarga
Bratakesawa tahun 1958.
Dari soal bagaimana memenuhi ajaran syariah hingga apa yang dimaksud dengan kematian, kehidupan, surga, dan neraka, cara
pandang Syekh Siti Jenar selalu menarik dikaji karena relatif berbeda
dengan pandangan umumnya pemeluk Islam. Namun demikian jika ditelaah
secara lebih jernih, cara pandang Syekh Siti Jenar tentang berbagai
persoalan tersebut bukanlah barang baru. Cara pandang Syekh Siti Jenar
mengenai berbagai permasalahan tersebut bisa ditemukan dalam sejarah
pemikiran Islam dari masa awal tumbuh-kembangnya pemikiran Islam itu
sendiri. Demikian pula
sikap akomodatifnya terhadap elite keturunan Majapahit yang tetap
konsisten atas keyakinan keagamaan lamanya seperti Ki Ageng Pengging
alias Ki Kebo Kenongo.
Sikapnya yang terbuka dan kemampuannya melampaui birokrasi ritual
keagamaan Islam membuat Syekh Siti Jenar tampak lebih populer dibanding
para wali yang resmi diakui oleh Kerajaan Demak Bintoro. Kehadiran Syekh
Siti Jenar mampu menembus batas-batas kelas dari rakyata jelata, kaum
pinggiran, elite birokrasi, kaum abangan, kalangan santri, hingga kelas
atas seperti Presiden Abdurrahman Wahid. Misteri kehadiran Syekh Siti
Jenar diikuti dongeng tentang kisah-kisah mistis tentang kesaktian atau
kedigdayaan sang tokoh. Ia dipercaya tidak mempan senjata (nora tedas
tapak paluning gurindo), hingga mampu menangkap bahasa batin, bisa
melanglang ke alam gaib hingga alam kematian karena ia dipercaya
memiliki kemampuan mengendalikan nafas kehidupan (ma’ul hayat).
Berdasar keyakinan tentang kemahakuasaan Tuhan di kalangan pemeluk
Islam yang bisa membuat apa saja yang mustahil di mata manusia, Syekh
Siti Jenar diyakini juga memiliki kemampuan linuwih seperti itu. Bagi
Syekh Siti Jenar, hidup di dunia ini adalah kematian dan kehidupan
sesugguhnya baru dimulai saat manusia menemui ajal kematiannya ketika
nyawa sesorang diambil oleh malaikat Izrail. Dari sini banyak orang
salah memahami cara pandang Syekh Siti Jenar bahwa syariah baru berlaku
nanti dalam kehidupan sesungguhnya yang mutlak abadi yaitu sesudah
kematian. Tidak ada gunanya salat, puasa, haji dan zakat jika dilakukan
oleh manusia yang masih hidup di alam kematian yang masih membutuhkan
makan, minum, kekuasaan, dan dikenai rasa haus dan lapar. Kewajiban
ibadah itu baru berarti pada saat manusia yang hidup itu bisa menjalani
kematian yang tidak lagi butuh makan, minum, gengsi, kekuasaan, dan
tidak lagi dikenai rasa lapar dan sakit. Inilah pengertian ikhlas dan
tidak riya dalam beribadah.
Seperti pengetahuan yang dimiliki oleh publik muslim, manusia
memiliki hubungan geneologis dengan Sang Penciptanya yaitu Allah Tuhan
Yang Maha Esa ketika jasad manusia ditiupi ruh-Nya sebagai penanda
dimulainya kehidupan manusia. Dari sini muncul cara pandang tentang dua
unsur dasar pembentuk manusia, yaitu unsur al-nasut (dimensi kemanusiaan
yang jasadi biologis) dan unsur al-lahut (yang ruhani non-historis).
Manusia sempurna atau insan kamil ialah saat al-nasut dan al-lahut
terintegrasi dalam kehidupan seseorang. Dari sini muncul konsep yang
kemudian dikenal sebagai cara pandang wihdatul-wujud atau ittihad,
manunggaling kawulo-gusti yaitu bersatunya manusia dengan asal-muasal
dirinya yaitu Tuhan Sang Pencipta.
Secara konseptual, di saat terjadi penyatuan manusia-Tuhan itulah
segala yang mustahil menjadi mungkin. Apa yang mustahil dilakukan
seseorang sebelum menyatu dengan al-lahutnya menjadi mungkin saat sang
al-lahut telah menyatu dalam al-nasutnya. Inilah maksud Syekh Siti Jenar
saat menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar tidak ada ketika dipanggil
menghadap Raja Demak karena yang ada adalah Tuhan, dan sebaliknya ketika
yang diminta menghadap raja itu apa yang disebutnya dengan Tuhan karena
yang ada adalah Syekh Siti Jenar. Inilah salah satu makna hadis Nabi
yang berbunyi “man arofa nafsahu faqad arofa robbahu” (barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya).
Al-Farabi bahkan menyusun hirarki akal hingga akal kesepuluh untuk
menunjukkan hubungan kausal, struktural, dan genealogis manusia dan
Tuhan. Manusia adalah puncak mutasi makhluk ciptaan Tuhan yang disebut
Al-Ghazali sebagai mikrokosmos. Mengenai manusia merupakan sekurangnya
langkap awal mengenal dan mengetahui siapa Tuhan. Dalam tradisi Jawa,
orang mengenal apa yang dimaksud dengan “jagad cilik” dan “jagad gede”
dalam memahami hubungan manusia dan Tuhan selain konsep “warongko
manjing curigo”. Karena itu cara pandang Syekh Siti Jenar bukanlah
sesuau yang asing dalam sejarah pemikiran Islam, termasuk dalam
kaitannya dengan pandangan Al-Hallaj tentang Anal-Haq.
Menjadi persoalan ketika ada sebagian yang memandang soal-soal
ketuhanan yang rumit dan gaib itu tidak pas diajarkan kepada semua kelas
sosial. Sementara bagi Syekh Siti Jenar, semua orang dari semua kelas
berhak memperoleh pengajaran pada tingkat paling mendasar tentang Tuhan.
Termasuk soal surga dan neraka. Dari sini sebenarnya bermula
penghakiman Syekh Siti jenar sebagai melakukan tindakan sesat karena
bisa mengganggu stabilitas kekuasaan politik Demak Bintoro ketika itu.
Terakhir, kiranya perlu juga dibaca secara kritis kisah tentang wali
songo dalam sejarah Islam Nusantara. Pertama, ke-9 wali itu tidak hidup
seluruhnya sezaman. Kedua, sebagian besar merupakan keluarga keturunan
Maulana Malik Ibrahim. Dari sini orang bisa memahami dimana dan
bagaimana posisi Syekh Siti Jenar. Rentang masa hidup wali songo bisa
menjadi bahan kajian menarik untuk melihat interaksi di antara ke-9 wali
dan Syekh Siti Jenar, walaupun nama Syekh Siti Jenar tidak tertera
dalam sejarah penyebaran Islam di negari ini.
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik/ Syekh Maghribi/ Jumadil Kubro)
1350- 8 April 1419 makam di pekuburan Gapura Wetan Gresik. Istri Maulana
Malik Ibrahim adalah Dewi Candrawulan putri Prabu Brawijaya dari istri
Ratu Campa. Sementara Raden Rahmat (Sunan Ampel/ putra Maulana Malik
Ibrahim, mertua Raden Fatah dari Dewi Murtasiyah, juga mertua Sunan
Giri) wafat 1481 dimakamkan di kompleks Masjid Ampel Surabaya. Sunan
Ampel lah yang mengangkat (mema-baiat) Raden Fatah sebagai Sultan Demak.
Selanjutnya, Raden Paku (Raden Ainul Yakin/ Sunan Giri/ Prabu
Satmata/ Sultan Abdul Fakih, putra Maulana Ishak) dari Blambangan yang
hidup sekitar pertengahan abad ke-15 di Giri sd awal abad ke-16,
dimakamkan di Bukit Giri Gresik. Dan, Raden Maulana Makhdum Ibrahim
(Sunan Bonang, putra Raden Rahmat, sudara sepupu Sunan Kalijaga, mertua
Sunan Kudus) wafat 1525, dimakamkan di Tuban. Sedangkan Raden Kosim
Syarifuddin (Sunan Drajat, putra Sunan Ampel) hidup di Ampel Denta 1470
sd pertengahan abad ke-16, dimakamkan di Sedayu Gresik.
Sementara itu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, cucu Prabu
Siliwangi) lahir Mekkah tahun 1448 dan wafat tahun 1570, dimakamkan di
Gunung Jati Desa Astana (berdampingan dengan makam Syekh Siti Jenar) di
Cirebon. Raden Ja’far Sadiq (sunan Kudus) wafat 1550, dimakamkan di
Kudus. Selanjutnya, Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga) hidup sekitar
akhir abad ke-14 hingga sekitar pertengahan abad ke-15, dimakamkan di
Kadilangu, Demak. Dan terakhir Raden Said (Raden Prawoto/ Sunan Muria)
hidup sekitar abad ke-15 hingga wafat sekitar abad ke-16, dimakamkan di
Bukit Muria, Jepara. Sedang Syekh Siti Jenar konon dijatuhi hukuman mati
sekitar tahun 1506 M.
Catatan akhir: Pertama kali penulis memperoleh naskah berupa skripsi
yang disusun Sdr Dalhar Shodiq, M.Hum (kini dosen Unsoed) tahun 1984.
Berikutnya memperoleh naskah Serat Syekh Siti Jenar dari Sdr Ignatius Untoro (toko buku Hien Ho Sing (Sari Ilmu, Maliboro) tahun 1990-an. Terakhir yang ketiga memperoleh naskah Boekoe Siti Djenar Ingkang Tulen,
karangan Sunan Giri Kedaton, terbitan Tan Khoen Swie dari Sdr Aris,
mahasiswa Pascasajrana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2012.
Bersamaan dengan terbitnya buku Syekh Siti Jenar pertama kali tahun
1985, oleh penerbit Persatuan, penulis memperoleh buku berjudul Kitab Bayan Budiman
karangan Mursyidi yang ditulis tahun 1859. Sebagian isi buku ini juga
membahas Syekh Siti Jenar dalam rangkaian kisah tentang 100 burung
surga. Buku ini berbentuk tembang ditulis dalam huruf Arab pegon. Sampai
hari ini penulis telah menulis dan menerbitkan buku bertema Syekh Siti
Jenar dengan judul-judul sebagaimana daftar berikut ini (rata-rata
mengalami cetak ulang empat kali hingga lebih 20 kali):
Seh Siti Jenar dan Ajaran Wihdaul Wujud (Dialog Budaya dan Pemikiran Jawa-Islam), Yogyakarta, Pertasuan, 1985.
Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa, Yogyakarta, Bentang, 1999.
Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar: Konflik Elite dan Lahirnya Mas Karebet, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2001.
Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnan Syekh Siti Jenar, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2002.
Revolusi Kesadaran dalam Serat-Serat Sufi, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Makrifat Siti Jenar; Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong Cilik, Jakarta, Grafindo Khazanah Ilmu, 2004.
Melipur Hati dengan Kisah Bergizi: Bijak & Jenaka, Jakarta, Zaman, 2008.
Misteri Kematian Syekh Siti Jenar, Bandung, Mizania, 2009.
Guru Sejati Syekh Siti Jenar Guru Sejati, Yogyakarta, Metro Epistema, 2009.
Jalan Hidup Syekh Siti Jenar & Kematian Ki Ageng Pengging: Jejak-Jejak Terakhir Majapahit, Yogyakarta, Metro Epistema, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar