Kesalahan Sejarah


Kesalahan Sejarah Tentang Syekh Siti Jenar Yang Menjadi Fitnah & Controversi............

> Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan 'Ali] > bin Sayyid Shalih> bin Sayyid 'Isa 'Alawi> bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin> bin Sayyid 'Abdullah Khan> bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan> bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih> bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath> bin Sayyid 'Ali Khali Qasam> bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair> bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah> bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir> bin Sayyid 'Ubaidillah> bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir> bin Sayyid 'Isa An-Naqib> bin Sayyid Muhammad An- Naqib> bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi> bin Imam Ja'far Ash-Shadiq> bin Imam Muhammad al-Baqir> bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin> bin Imam Husain Asy-Syahid> bin Sayyidah Fathimah Az- Zahra> binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw. Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran.

Sabtu, 28 Desember 2013

Syekh Siti Jenar Sepupu Guru Sunan Gunung Jati


Oleh: Abdul Munir Mulkhan
Berikut ini sekilas uraian tentang kehidupan Syekh Siti Jenar di antara 9 wali di Tanah Jawa. Syekh Siti Jenar, merupakan tokoh paling menarik, paling populer, dan paling kontroversial di antara para wali yang dikenal di dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara. Walaupun tidak dicatat secara resmi sebagai salah satu wali di antara Wali Songo (sembilan) namun Syekh Siti Jenar adalah sepupu guru Sunan Gunung Jati yang berguru kepada Syekh Datu Kahfi atau Syekh Nurul Jati di Gunung Ngamparan Jati Cirebon. Syekh Nurul Jati ini adalah sepupu Syekh Siti Jenar yang di Cirebon juga dikenal sebagai Abdul Jalil (ayah Syekh Siti Jenar adalah saudara kandung Syekh Datu Kahfi).
Di satu sisi, ada sejumlah petunjuk bahwa Syekh Siti Jenar adalah manusia historis yang hidup sejaman dengan guru Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, yaitu Syekh Nurul Jati. Di sisi lain, ia bagai datang dari negeri antah berantah dunia mistis ketika dikisahkan berasal dari cacing. Dari sinilah kemudian muncul sesosok tokoh yang kemudian dikenal dengan nama Syekh Siti Jenar dengan pandangan dan perilaku yang menimbulkan perdebatan yang tak pernah usai. Dari sejak saat kemunculannya pada sekitar abad ke-15 hingga saat ini di awal abad ke-21 perdebatan tentang cara pandang dan sikap hidup Syekh Siti Jenar tidak pernah padam.
Dikisahkan, saat itu Sunan Kalijaga sedang mengajar ilmu “kun Fayakun” kepada Sunan Bonang di atas sebuah perahu. Di tengah pengajaran itu sang perahu ternyata bocor yang jika tidak segera ditambal bisa berakibat perahu dan penumpangnya akan karam di tengah sebuah danau. Suna Kalijaga segera menepi lalu mengambil sebongkah lumpur dari tanah liat untuk ditempel di tempat perahu yang bocor tersebut. Tanpa sengaja dalam lumpur itu ternyata ada seekor cacing yang terbawa menempel di dinding perahu. Pengajaran ilmu “Kun Fayakun” kemudian berlangsun g lancar, hingga Sunan Kalijaga mengetahui ada sesuatu yang mengikuti pengajaran saat itu. Seketika itu pula muncul sesosok manusia yang kemudian hari dikenal sebagai Syekh Siti Jenar.
Begitulah satu versi kisah kemunculan Syekh Siti Jenar di dalam dinamika sejarah Nusantara yang kemudian membuat heboh kerajaan Islam di bawah Raja Raden Fatah yang baru berdiri tidak lama sesudah Majapahit runtuh. Sumber dokumen berbasis serat dalam bentuk tembang yang sekurangnya meliputi dua ragam. Pertama diterbitkan oleh Tan Khoen Swie tahun 1931 di bawah judul “Boekoe Siti Djenar Ingkang Tulen” karangan Sunan Giri Kedaton. Sumber kedua ditulis oleh Raden Sasrawijoyo berjudul Serat Syeh Siti Djenar terbitan Keluarga Bratakesawa tahun 1958.
Dari soal bagaimana memenuhi ajaran syariah hingga apa yang dimaksud dengan kematian, kehidupan, surga, dan neraka, cara pandang Syekh Siti Jenar selalu menarik dikaji karena relatif berbeda dengan pandangan umumnya pemeluk Islam. Namun demikian jika ditelaah secara lebih jernih, cara pandang Syekh Siti Jenar tentang berbagai persoalan tersebut bukanlah barang baru. Cara pandang Syekh Siti Jenar mengenai berbagai permasalahan tersebut bisa ditemukan dalam sejarah pemikiran Islam dari masa awal tumbuh-kembangnya pemikiran Islam itu sendiri. Demikian pula sikap akomodatifnya terhadap elite keturunan Majapahit yang tetap konsisten atas keyakinan keagamaan lamanya seperti Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenongo.
Sikapnya yang terbuka dan kemampuannya melampaui birokrasi ritual keagamaan Islam membuat Syekh Siti Jenar tampak lebih populer dibanding para wali yang resmi diakui oleh Kerajaan Demak Bintoro. Kehadiran Syekh Siti Jenar mampu menembus batas-batas kelas dari rakyata jelata, kaum pinggiran, elite birokrasi, kaum abangan, kalangan santri, hingga kelas atas seperti Presiden Abdurrahman Wahid. Misteri kehadiran Syekh Siti Jenar diikuti dongeng tentang kisah-kisah mistis tentang kesaktian atau kedigdayaan sang tokoh. Ia dipercaya tidak mempan senjata (nora tedas tapak paluning gurindo), hingga mampu menangkap bahasa batin, bisa melanglang ke alam gaib hingga alam kematian karena ia dipercaya memiliki kemampuan mengendalikan nafas kehidupan (ma’ul hayat).
Berdasar keyakinan tentang kemahakuasaan Tuhan di kalangan pemeluk Islam yang bisa membuat apa saja yang mustahil di mata manusia, Syekh Siti Jenar diyakini juga memiliki kemampuan linuwih seperti itu. Bagi Syekh Siti Jenar, hidup di dunia ini adalah kematian dan kehidupan sesugguhnya baru dimulai saat manusia menemui ajal kematiannya ketika nyawa sesorang diambil oleh malaikat Izrail. Dari sini banyak orang salah memahami cara pandang Syekh Siti Jenar bahwa syariah baru berlaku nanti dalam kehidupan sesungguhnya yang mutlak abadi yaitu sesudah kematian. Tidak ada gunanya salat, puasa, haji dan zakat jika dilakukan oleh manusia yang masih hidup di alam kematian yang masih membutuhkan makan, minum, kekuasaan, dan dikenai rasa haus dan lapar. Kewajiban ibadah itu baru berarti pada saat manusia yang hidup itu bisa menjalani kematian yang tidak lagi butuh makan, minum, gengsi, kekuasaan, dan tidak lagi dikenai rasa lapar dan sakit. Inilah pengertian ikhlas dan tidak riya dalam beribadah.
Seperti pengetahuan yang dimiliki oleh publik muslim, manusia memiliki hubungan geneologis dengan Sang Penciptanya yaitu Allah Tuhan Yang Maha Esa ketika jasad manusia ditiupi ruh-Nya sebagai penanda dimulainya kehidupan manusia. Dari sini muncul cara pandang tentang dua unsur dasar pembentuk manusia, yaitu unsur al-nasut (dimensi kemanusiaan yang jasadi biologis) dan unsur al-lahut (yang ruhani non-historis). Manusia sempurna atau insan kamil ialah saat al-nasut dan al-lahut terintegrasi dalam kehidupan seseorang. Dari sini muncul konsep yang kemudian dikenal sebagai cara pandang wihdatul-wujud atau ittihad, manunggaling kawulo-gusti yaitu bersatunya manusia dengan asal-muasal dirinya yaitu Tuhan Sang Pencipta.
Secara konseptual, di saat terjadi penyatuan manusia-Tuhan itulah segala yang mustahil menjadi mungkin. Apa yang mustahil dilakukan seseorang sebelum menyatu dengan al-lahutnya menjadi mungkin saat sang al-lahut telah menyatu dalam al-nasutnya. Inilah maksud Syekh Siti Jenar saat menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar tidak ada ketika dipanggil menghadap Raja Demak karena yang ada adalah Tuhan, dan sebaliknya ketika yang diminta menghadap raja itu apa yang disebutnya dengan Tuhan karena yang ada adalah Syekh Siti Jenar. Inilah salah satu makna hadis Nabi yang berbunyi “man arofa nafsahu faqad arofa robbahu” (barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya).
Al-Farabi bahkan menyusun hirarki akal hingga akal kesepuluh untuk menunjukkan hubungan kausal, struktural, dan genealogis manusia dan Tuhan. Manusia adalah puncak mutasi makhluk ciptaan Tuhan yang disebut Al-Ghazali sebagai mikrokosmos. Mengenai manusia merupakan sekurangnya langkap awal mengenal dan mengetahui siapa Tuhan. Dalam tradisi Jawa, orang mengenal apa yang dimaksud dengan “jagad cilik” dan “jagad gede” dalam memahami hubungan manusia dan Tuhan selain konsep “warongko manjing curigo”. Karena itu cara pandang Syekh Siti Jenar bukanlah sesuau yang asing dalam sejarah pemikiran Islam, termasuk dalam kaitannya dengan pandangan Al-Hallaj tentang Anal-Haq.
Menjadi persoalan ketika ada sebagian yang memandang soal-soal ketuhanan yang rumit dan gaib itu tidak pas diajarkan kepada semua kelas sosial. Sementara bagi Syekh Siti Jenar, semua orang dari semua kelas berhak memperoleh pengajaran pada tingkat paling mendasar tentang Tuhan. Termasuk soal surga dan neraka. Dari sini sebenarnya bermula penghakiman Syekh Siti jenar sebagai melakukan tindakan sesat karena bisa mengganggu stabilitas kekuasaan politik Demak Bintoro ketika itu.
Terakhir, kiranya perlu juga dibaca secara kritis kisah tentang wali songo dalam sejarah Islam Nusantara. Pertama, ke-9 wali itu tidak hidup seluruhnya sezaman. Kedua, sebagian besar merupakan keluarga keturunan Maulana Malik Ibrahim. Dari sini orang bisa memahami dimana dan bagaimana posisi Syekh Siti Jenar. Rentang masa hidup wali songo bisa menjadi bahan kajian menarik untuk melihat interaksi di antara ke-9 wali dan Syekh Siti Jenar, walaupun nama Syekh Siti Jenar tidak tertera dalam sejarah penyebaran Islam di negari ini.
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik/ Syekh Maghribi/ Jumadil Kubro) 1350- 8 April 1419 makam di pekuburan Gapura Wetan Gresik. Istri Maulana Malik Ibrahim adalah Dewi Candrawulan putri Prabu Brawijaya dari istri Ratu Campa. Sementara Raden Rahmat (Sunan Ampel/ putra Maulana Malik Ibrahim, mertua Raden Fatah dari Dewi Murtasiyah, juga mertua Sunan Giri) wafat 1481 dimakamkan di kompleks Masjid Ampel Surabaya. Sunan Ampel lah yang mengangkat (mema-baiat) Raden Fatah sebagai Sultan Demak.
Selanjutnya, Raden Paku (Raden Ainul Yakin/ Sunan Giri/ Prabu Satmata/ Sultan Abdul Fakih, putra Maulana Ishak) dari Blambangan yang hidup sekitar pertengahan abad ke-15 di Giri sd awal abad ke-16, dimakamkan di Bukit Giri Gresik. Dan, Raden Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra Raden Rahmat, sudara sepupu Sunan Kalijaga, mertua Sunan Kudus) wafat 1525, dimakamkan di Tuban. Sedangkan Raden Kosim Syarifuddin (Sunan Drajat, putra Sunan Ampel) hidup di Ampel Denta 1470 sd pertengahan abad ke-16, dimakamkan di Sedayu Gresik.
Sementara itu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, cucu Prabu Siliwangi) lahir Mekkah tahun 1448 dan wafat tahun 1570, dimakamkan di Gunung Jati Desa Astana (berdampingan dengan makam Syekh Siti Jenar) di Cirebon. Raden Ja’far Sadiq (sunan Kudus) wafat 1550, dimakamkan di Kudus. Selanjutnya, Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga) hidup sekitar akhir abad ke-14 hingga sekitar pertengahan abad ke-15, dimakamkan di Kadilangu, Demak. Dan terakhir Raden Said (Raden Prawoto/ Sunan Muria) hidup sekitar abad ke-15 hingga wafat sekitar abad ke-16, dimakamkan di Bukit Muria, Jepara. Sedang Syekh Siti Jenar konon dijatuhi hukuman mati sekitar tahun 1506 M.
Catatan akhir: Pertama kali penulis memperoleh naskah berupa skripsi yang disusun Sdr Dalhar Shodiq, M.Hum (kini dosen Unsoed) tahun 1984. Berikutnya memperoleh naskah Serat Syekh Siti Jenar dari Sdr Ignatius Untoro (toko buku Hien Ho Sing (Sari Ilmu, Maliboro) tahun 1990-an. Terakhir yang ketiga memperoleh naskah Boekoe Siti Djenar Ingkang Tulen, karangan Sunan Giri Kedaton, terbitan Tan Khoen Swie dari Sdr Aris, mahasiswa Pascasajrana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2012.
Bersamaan dengan terbitnya buku Syekh Siti Jenar pertama kali tahun 1985, oleh penerbit Persatuan, penulis memperoleh buku berjudul Kitab Bayan Budiman karangan Mursyidi yang ditulis tahun 1859. Sebagian isi buku ini juga membahas Syekh Siti Jenar dalam rangkaian kisah tentang 100 burung surga. Buku ini berbentuk tembang ditulis dalam huruf Arab pegon. Sampai hari ini penulis telah menulis dan menerbitkan buku bertema Syekh Siti Jenar dengan judul-judul sebagaimana daftar berikut ini (rata-rata mengalami cetak ulang empat kali hingga lebih 20 kali):
Seh Siti Jenar dan Ajaran Wihdaul Wujud (Dialog Budaya dan Pemikiran Jawa-Islam), Yogyakarta, Pertasuan, 1985.
Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa, Yogyakarta, Bentang, 1999.
Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar: Konflik Elite dan Lahirnya Mas Karebet, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2001.
Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnan Syekh Siti Jenar, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2002.
Revolusi Kesadaran dalam Serat-Serat Sufi, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2003.
Makrifat Siti Jenar; Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong Cilik, Jakarta, Grafindo Khazanah Ilmu, 2004.
Melipur Hati dengan Kisah Bergizi: Bijak & Jenaka, Jakarta, Zaman, 2008.
Misteri Kematian Syekh Siti Jenar, Bandung, Mizania, 2009.
Guru Sejati Syekh Siti Jenar Guru Sejati, Yogyakarta, Metro Epistema, 2009.
Jalan Hidup Syekh Siti Jenar & Kematian Ki Ageng Pengging: Jejak-Jejak Terakhir Majapahit, Yogyakarta, Metro Epistema, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar