Sedangkan hidup sejati adalah kehidupan yang sudah tidak tersentuh lagi oleh kematian. Hidup sejati adalah kehidupan yang tidak lagi menumpang pada badan wadah yang bisa tusak atau musnah. Kehidupan sejati tidak membutuhkan pemenuhan nafsu-nafsu badaniah.
Dalam al-qur’an terdapat pernyataan “Innaka mayyatun wa innahum mayyitun” (Sesungguhnya kamu itu hanya mayat, bangkai dan mereka pun hanya mayat (QS Al-Zumar : 30). Dalam al-qur’an dibedakan antara mayat dengan maut. Maut bermakna kematian, sedang mayat adalah benda yang mengalami kematian alias bangkai. Kata mayat juga terdapat dalam QS. 23: 15 dan 37: 58. Intinya sama, penekanan sifat mati, atau sebagai mayat, atau bangkai. Itu semua adalah penyandangan sifat kehidupan dan kematian manusia di dunia.
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa “Hayyun da imun la yamutu Abadan”. Hidup itu bersifat daim, kekal selamanya, tidak pernah ada kematian. Inilah hakikat hidup. Allah sendiri menyandang nama al-Hayyu. Roh manusia berasal dari kehidupan yang hakiki dan akan kembali kepada kehidupan hakiki. Namun, di dunia ini, zat hidup memerlukan awak (ahlab = wadah) yang bersifat bangkai sesuai duniawi. Maka begitu roh tergiring ke alam wujud, maka ia akan menempati bangkai sesuai sarana persemayamannya. Syekh Siti Jenar menandaskan bahwa “kullu ‘alamin mawjudun”, setiap alam ada eksistensinya. Peragaan roh dalam “bangkai” di dunia tidak lain agar sang roh yang azali itu bisa bereksistensi di alam kematian dunia.
Itulah sebabnya, di dunia, manusia hanya disebut sebagai khalifatullah, sang wakil Allah; perjalanan hidupnya disebut ‘bidullah, hamba Allah. Maka, fungsi duniawi haruslah ditujukan kepada hal yang bersifat azali, pangkat khalifatullah kemudian musnah, demikian juga sifat khalifahnya dan keadaan ‘abidullah, musnah pula kondisi ‘abid-nya, dan yang tinggal hanya satu: “Allah”.
Sumber :
K.H. Muhammad Sholikhin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar