Mengenal Berbagai Simbol Penghormatan
Dalam falsafah hidup Jawa, berbakti
kepada kedua orang tua dan para leluhur yang menurunkan adalah suatu
ajaran yang diagungkan. Orang Jawa yang memahami hakekat hidup, tentunya
akan sangat memahami apabila kesuksesan lahir dan batin tak akan bisa
diraih apabila kita menjadi seorang anak atau generasi penerus yang
durhaka kepada orang tua dan para leluhur yang menurunkannya. Ungkapan
rasa berbakti, tidak hanya diucapkan dalam ikrar doa-doa puji-pujian
yang ditujukan kepada leluhurnya. Lebih dari itu, harus ada langkah
konkrit sebagaimana telah saya posting dalam thread terdahulu dengan
judul “Membangun Laku Prihatin yang Pener dan Pas” dan Hubungan Leluhur dengan Kembalinya Kejayaan Nusantara.
Salah satu wujud konkrit rasa berbakti tersebut adalah berupa sesaji,
yang dimaksud sebagai persembahan atas segala rasa hormat dan rasa
terimakasih tak terhingga kepada para leluhur yang telah wafat yang mana
semasa hidupnya telah berjasa memberikan warisan ilmu, harta-benda, dan
lingkungan alam yang terpelihara dengan baik sehingga masih dapat kita
nikmati sampai saat ini dan memberikan manfaat untuk kebaikan hidup
kita.
Berikut ini adalah beberapa contoh menu
persembahan sebagai ungkapan rasa menghormati kepada leluhur (sesaji).
Masing-masing uborampe mempunyai ciri khas dan makna yang dalam. Tanpa
memahami makna, rasanya persembahan sesaji akan terasa hambar dan mudah
menimbulkan prasangka buruk, dianggap sesat, tak ada tuntunannya, dan
syirik. Tetapi semua prasangka itu tentu datang dari hasil pemikiran
yang tak cukup informasi untuk mengenal dan memahami apa makna hakekat
di balik semua itu.
Saya ambil contoh, misalnya para orang
tua zaman dulu suka menabur bunga setaman di perempatan jalan. Tetapi
lama-kelamaan tradisi itu hilang karena orang takut dituduh musrik dst.
Padahal, sesungguhnya orang yang menabur bunga di perempatan jalan
sambil mengucapkan doa yang mensiratkan makna yang dalam dalam limpahan
kasih sayang yang tidak pilih kasih. Adapun doanya misalnya sebagai
berikut :
Ya Tuhan…berilah keselamatan dan
berkah kepada siapapun yang melewati jalan ini, baik manusia, makhluk
halus, maupun binatang apapun jenis dan namanya.
Doa dan apa yang mereka lakukan merupakan
manifestasi dari budi pekerti mereka yang sungguh adiluhung.
Melakukannya penuh dengan ketulusan dan kasih sayang. Tentu saja doa
yang mengandung ketulusan dan kasih sayang yang berlimpah itu, akan
beresonansi dan bersinergi dengan energi alam semesta yang penuh
limpahan berkah. Alam menyambutnya dengan limpahan berkah dan
keselamatan lahir batin kepada seluruh makhluk yang melewati perempatan
jalan itu. Itulah kodrat alam yang telah terbentuk dalam relung-relung
hukum keadilan Tuhan.
Kembang
Atau bunga. Bermakna filosofis agar kita
dan keluarga senantiasa mendapatkan “keharuman” dari para leluhur.
Keharuman merupakan kiasan dari berkah-safa’at yang berlimpah dari para
leluhur, dapat mengalir (sumrambah) kepada anak turunnya.
Menurut pengalaman saya pribadi, masing-masing aroma bunga, dapat
menjadi ciri khas masing-masing leluhur. Desa mawa cara, negara mawa tata.
Beda daerah, beda masyarakatnya, beda leluhurnya, beda pula tradisi dan
tata cara penghormatannya. Bahkan aroma khas bunga serta berbagai
jenis dedaunan tertentu sering menjadi penanda bau khas salah satu
leluhur kita. Bila bau harum bunga tiba-tiba hadir di sekitar anda,
kemungkinan besar ada salah satu leluhur anda yang hadir di dekat anda
berada.
Kembang Setaman
Uborampe ini sangat fleksibel, cakupannya
luas dan dimanfaatkan dalam berbagai acara ritus dan kegiatan
spiritual. Kembang setaman versi Jawa terdiri dari beberapa jenis bunga.
Yakni, mawar, melati, kanthil, dan kenanga. Lihat dalam gambar.
Adapun makna-makna bunga tersebut yang sarat akan makna filosofis adalah sbb :
1. Kembang KANTHIL, kanthi laku, tansah kumanthil
Atau simbol pepeling bahwa untuk meraih ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase kalawan kas, tegese kas iku nyantosani (Lihat dalam thread; Serat Wedhatama).
Maksudnya, untuk meraih ilmu spiritual serta meraih kesuksesan lahir
dan batin, setiap orang tidak cukup hanya dengan memohon-mohon doa.
Kesadaran spiritual tak akan bisa dialami secara lahir dan batin tanpa
adanya penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari (lakutama atau perilaku yang utama). Bunga kanthil berarti pula, adanya tali rasa, atau tansah kumanthil-kanthil,
yang bermakna pula kasih sayang yang mendalam tiada terputus. Yakni
cirahan kasih sayang kepada seluruh makhluk, kepada kedua orang tuanya
dan para leluhurnya. Bukankah hidup ini pada dasarnya untuk saling
memberi dan menerima kasih sayang kepada dan dari seluruh makhluk. Jika
semua umat manusia bisa melakukan hal demikian tanpa terkotak-kotak
ragam “kulit” agama, niscaya bumi ini akan damai, tenteram, dan
sejahtera lahir dan batinnya. Tak ada lagi pertumpahan darah dan ribuan
nyawa melayang gara-gara masing-masing umat manusia (yang sesungguhnya
maha lemah) tetapi merasa dirinya disuruh tuhan yang Maha Kuasa. Tak ada
lagi manusia yang mengklaim diri menjadi utusanNya untuk membela tuhan
Yang Maha Kuasa. Yaah, mudah-mudahan untuk ke depan tuhan tak usah
mengutus-utus manusia membela diriNya. Kalau memang kita percaya
kemutlakan kekuasaan Tuhan, biarkan tuhan sendiri yang membela diriNya,
biarkan tuhan yang menegakkan jalanNya untuk manusia, pasti bisa walau
tanpa adanya peran manusia! Toh tuhan maha kuasa, pasti akan lebih aman,
tenteram, damai. Tidak seperti halnya manusia yang suka pertumpahan
darah !! Seumpama membersihkan lantai dengan menggunakan lap yang kotor.
Read more…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar