2. Sholat
“Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat) yang khusyuk” (QS Al. Baqarah/ 2:238). Ini
adalah penegasan dari Allah tentang kewajiban dan keharusan memelihara
shalat, baik segi dzahir maupun batin dengan titik tekan “khusyuk”,
kondisi batin yang mantap.
Secara
lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah, sujud,
duduk dsb. Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah
shalat jasmani dan fisikal. Karena semua gerakan badan berlaku dalam
semua shalat, maka dalam ayat tersebut disebut shalawaati (segala
shalat) yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian
lahiriah.
Bagian
kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang secara sufistik adalah
shalat hati. Wustha dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah.
Karena hati terletak di tengah, yakni di tengah “diri”, maka dikatakan
shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk
mendapatkan kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di
tengah-tengah, antara kiri dan kanan, antara depan dan belakang, atas
dan bawah, serta antara baik dan jahat. Hati menjadi titik tengah, poin
pertimbangan. Hati juga diibaratkan berada diantara dua jari Allah,
dimana Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang ia kehendaki. Maksud
dari dua jari Allah adalah dua sifat Allah, yaitu sifat Yang Menghukum
dan Meng-adzab dengan sifat Yang Indah, Yang Kasih Sayang, dan Yang
Lemah Lembut.
Sholat
dan ibadah yang sebenarnya adalah sholat serta ibadahnya hati, kondisi
khusyu’ menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak khusyuk, maka
jasmaniahnya akan berantakan. Sehingga kalau ini terjadi, kedamaian yang
didambakan akan hancur pula. Apalagi shalat jasmani hanya bisa dicapai
dengan hati yang khusyuk. Kalau hati tidak khusyuk, serta tidak dapat
konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa
disebut shalat. Juga tidak akan dapat dipahami apa yang diucapkan, dan
tentu apa pun yang dilakukan dengan bacaan dan gerakannya tidakakan bisa
mengantarkan sampai kepada Allah.
Urgensi
ke-khusyuk-an ini berhubungan dengan inti shalat sebagai doa. Doa atau
munajat, bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi
berarti juga sebagai arena pertemuan. Dan tempat pertemuan itu adalah di
dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam shalat, tidak peduli akan
makna shalat rohani, shalat yang dilakukan tersebut tidak akan
memberikan manfaat apa pun. Sebab semua yang dilakukan jasmaninya sangat
tergantung kepada hati sebagai Dzat untuk badan. “Ingatlah
bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik,
baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua
tubuh itu. Daging itu adalah hati. “ (sabda Rasulullah)
Ke-khusyuk-an
hati akan membawa sholat yang menghasilkan kesehatan hati. Shalat
khusyuk akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta
berpenyakit. Maka shalat yang baik haruslah dengan hati yang sehat dan
baik pula, bukan dengan hati yang rusak, yakni hati yang tidak dapat
hadir kepada Allah.
Jika
shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal,
baik tempat, waktu, kesucian badan, pakaian, dsb, maka shalat dari segi
rohaniah tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu
tertentu. Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Shalat ini selalu dilakukan terus menerus sejak di dunia hingga akhirat.
Masjid untuk shalat rohani terletak dalam hati. Jamaahnya terdiri dari
anggota-anggota batin atau daya-daya rohaniah yang ber-dzikir dan
membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa alam rohaniah. Imam dalam shalat
rohani adalah kemauan atau keinginan (niat) yang kuat. Dan kiblatnya
adalah Allah. Inilah shalat tarek dan sholat daim yang diajarkan oleh
Syekh Siti Jenar.
Shalat
yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati
yang tidak tidur, dan hati yang tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu
kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika jasmaninya sedang tertidur
atau terjaga. Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat, dan sepanjang
hayatnya adalah untuk beribadah.
Inilah
ibadah orang yang sudah mencapai ma’rifatullah, tempat penyucian
tertinggi. Di tempat itu, ia ada tanpa dirinya. Karena dirinya telah
fana’, telah hilang lenyap. Ingatannya yang teguh dan suci tercurah
hanya kepada Allah.
Namun
tentu saja ini berlaku setelah semua shalat-shalat fardhu dan nawafil
dilaksanakan secara konsisten. Jadi, tempat suci tersebut baru bisa
dijangkau setelah semua shalat syari’at itu sempurna, lalu masuk ke
dalam shalat thariqat dan ma’rifat. Maka tidak bisa diartikan bahwa jika
sudah berada di tingkatan ini, lalu tidak lagi melakukan shalat sama
sekali. Bahkan sering dalam shalat itulah mereka mengalami fana’ dalam
munajat-nya sehingga ibadah yang dilakukannya itu menyita banyak waktu.
Hanya saja bentuk shalat dalam arti gerakan dan bacaan tertentu sudah
tidak mengikat lagi. Shalat ditegakkan atas kemerdekaan rohani dalam
menempuh laku menuju Allah.
Pada
tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut. Tidak ada lagi gerakan
berdiri, ruku’, sujud, dsb. Dia telah berbincang dengan Allah
sebagaimana firman-Nya “Hanya Engkau yang kami sembah, dan hanya Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS Al-Fatihah/1: 5)
Firman
tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil, yakni
mereka yang telah melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman
rohani sehingga tenggelam dalam lautan tauhid atau Ke-Esaan Allah dan
ber”padu” dengan-Nya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat
mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun mereka
pun sering tidak mau mengungkapkannya. Tidak ingin membocorkan rahasia
Ketuhanan yang tersimpan di dalam lubuk hatinya oleh Allah.
Hal
tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang bukan semata-mata
ucapan “Allahu Akbar”. Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari
firman Allah yang memuji kebesaran Dzat-Nya. Jadi, takbir sebenarnya
merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut hamba-Nya. Bukan hasil dari
dorongan emosional. Karenanya, takbir sejati adalah menyatakan kebesaran
Allah dari af’al Allah sendiri. Takbir sejati merupakan penghayatan
diri terhadap sifat Allah. Dan takbir sejati adalah penyebutan nama-Nya
yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan takbir yang demikian itu
maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi tidak ada. Yang ada
hanya Allah. Ke mana pun kita menghadap yang ada hanya Wajah Allah.
Maka
setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, sempurnalah
ibadah seseorang. Hati dan ruh seperti tergambar itu membawanya masuk ke
Hadirat Allah. Hatinya ber”padu” mesra dengan Allah. Dalam alam nyata
ia menjadi hamba yang wara’ dan ‘alim. Dalam alam rohani ia menjadi ahli
ma’rifah yang telah sampai pada peringkat kesempurnaan mengenal Allah.
Inilah makna bahwa shalat adalah perjalanan menuju Allah. Hasilnya
adalah bahwa shalat yang dilaksanakan mencegah perilaku yang keji dan
munkar. Sebaliknya menghasilkankehalusan dan kemuliaan budi dan
perilaku.
Jika
shalat telah dihilangkan makna hakikatnya, hanya menjadi sekedar
pelaksanaan hukum fikih sebagaimana tampak pada kebanyakan manusia
dewasa ini, maka shalat tersebut telah kehilangan makna fungsionalnya.
Hal inilah yang telah mendatangkan kritik tajam dari Syekh Siti Jenar.
Syahadat, sholat, puasa semua tanpa makna
Termasuk zakat dan haji ke Mekah
Itu semua telah menjadi palsu
Tidak bisa dijadikan anutan
Hanya menghasilkan kerusakan di bumi
Membohongi makhluk lain
Hanya ingin surga kelak
Orang bodoh mengikuti para wali
Sementara kenyataannya sama saja belum mencapai tahapan hening
Syekh
Siti Jenar mengkritik pelaksanaan hukum fikih pada masa walisanga
karena ibadah-ibadah formal tersebut telah kehilangan makna dan tujuan,
kehilangan arti, dan hikmah kehidupan. Hal itu menjadikan semua ajaran
agama yang diajarkan oleh para ulama ketika itu menjadi kebohongan yang
meninabobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak yang belum
ada kenyataanya.
Oleh
karenanya Syekh Siti Jenar mengajarkan praktik shalat fungsional,
berbeda dengan para wali pada masanya. Shalat tarek sebagai bentuk
ketaatan syari’at, dan shalat daim sebagai shalat yang tertanam dalam
jiwa, dan mewarnai seluruh pekerti kehidupan. Seseorang yang
melaksanakan pekerjaan profesionalnya secara benar, disiplin, ikhlas,
dan karena melaksanakan fungsi lillahi ta’ala, maka orang tersebut
disebut melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat da’im.
Namun
ternyata, ajaran shalat fungsional tersebut tidak hanya menjadi milik
Syekh Siti Jenar. Di dalam Suluk Wujil bait 12-13, sebuah naskah yang
ditulis pada awal abad ke-17, yang disebut-sebut sebagai warisan ajaran
Sunan Bonang, menyebutkan ajaran shalat sebagai berikut:
Unggulnya
diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang
sebenarnya bukan mengerjakan shalat Isya dan maghrib. Itu namanya
sembahyang. Apabila itu disebut shalat, maka hanyalah hiasan dari shalat
daim. Hanyalah tata krama . manakah yang disebut shalat yang
sesungguhnya itu? Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa
yang disembah. Akibatnya dikalahkan oleh martabat hidupmu. Jika didunia
ini engkau tidak mengetahui siapa yang disembah, maka engkau seperti
menyumpit burung. Pelurunya hanya disebarkan, tapi burungnya tak ada
yang terkena tembakan. Akibatnya cuma menyembah ketiadaan, suatu
sesembahan yang sia-sia.
Maka
jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya dilakukan berdasarkan
ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagamaan.
Sementara shalat daim yang merupakan shalat yang sebenarnya. Yakni,
kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Hyang Maha Agung di dalam
dirinya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya
adalah shalat. Diam, bicara, dan semua gerak tubuhnya merupakan shalat.
Wudhu, membuang air besar, makan dan sebagainya adalah tindakan
sembahyang. Inilah hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada putus.
Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk menebar kekejian dan
ke-mungkar-an. Mampu menghadirkan rahmatan lil ‘alamin.
bersambung, insyaAllah.
stok
-
▼
2011
(191)
-
▼
August
(25)
- nafs kamaliah
- Hakekat Rukun Islam Menurut Syekh Siti Jenar-4
- Hakekat Rukun Islam Menurut Syekh Siti Jenar-3
- sang saka
- yang ku ingin
- Tarian Jiwa
- Hakekat Rukun Islam Menurut Syekh Siti Jenar-2
- masa terbaik menanam pokok durian
- Hakekat Rukun Islam Menurut Syekh Siti Jenar
- diary of a wimpy kid
- polis makan rasuah..
- acara teka nama kueh untuk berbuka..
- Terang Boelan @ Negaraku?
- Raudhat-ar-Rasool (P.B.U.H)
- setiap ketika..
- if u want the rainbow..
- pagi ini..
- the raven on your shoulder
- serba salah..
- paul scholes' testimonial
- ketauhidan Syekh Siti Jenar- 3
- macam orang gilak..
- Tuesdays with Morrie
- man can't do without God
- cite pose hari ni..
-
▼
August
(25)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar