Shalat lima waktu
menurut Syekh Siti Jenar
أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
TIGA PULUH TUJUH
�Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam
hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang
akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.� (Serat Syaikh
Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu
hanyalah bentuk tata krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya,
yakni shalat sebagai wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah
dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam tingkatan aplikatif,
pelaksanaannya hanya merupakan kehendak masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima
waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga
merupakan hal yang tidak begitu penting untuk menjadi perhatian manusia.
Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja masing-masing orang
memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
TIGA PULUH DELAPAN
�Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi
saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang
menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama
diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang
tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.� (Serat Syaikh Siti
Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal
Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model
dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan
erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas, dan juga
pernyataan mengenai kebohongan syari�at yang tanpa spiritualitas di
bawah. Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat,
sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu
keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat
khusyu�nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam
kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Qur�an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap
memiliki sifat riya� dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut
mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan
makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma�un/107;4-7). Sedang dalam
Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan
keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu�. Dan shalat yang khusyu�
itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan
diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak
menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan
zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri dari tindakan nista;
(4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga makna dan esensi
shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi
tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang
melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika
melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang
liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang
liar pasti menggagalkan pesan khusyu� tersebut. Khusyu� itu adalah buah
dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal
dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga
doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana�
atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu� bukanlah latihan konsentrasi,
bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat
latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut
ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan menyebut
shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para pencuri.
Puasa Zakat dan Haji
TIGA PULUH SEMBILAN
�Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi
tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong
(palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap
sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi
harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang
yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya
menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah,
pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang.
Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia
adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka
nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti
Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.� .
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali
adalah �omong kosong belaka�, atau �wes palson kabeh�(sudah tidak ada
yang asli). Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang
selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari�at
Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari�at tersebut. Syekh Siti
Jenar menggunakan istilah �iku wes palson kabeh�, yg artinya �itu sudah
dipalsukan atau dibuat palsu semua.� Tentu ini berbeda pengertiannya
dengan kata �iku palsu kabeh� atau �itu palsu semua.�
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari�at
Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna
dalam pengertian syari�at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas
belaka. Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan
menjadi mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal
syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan,
namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan
syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah
telah menjadi palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi
orang lain, maka semuanya merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah
tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi,
justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang
ini juga).Yang mengajarkan syari�at juga tidak lagi memahami makna dan
manfaat syari�at itu, dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi
syari�at yg hidup dan berdaya guna. Sehingga syari�at menjadi hampa
makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan
makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi
kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk
profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya secara benar, karena
Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg
sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya
mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta
itulah shalat yg sesungguhnya. Itulah pula yang menjadi rangkaian antara
iman, Islam, dan Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat
lima waktu dalam hal ini menjadi tata krama syari�at atau shalat
nominal.
Makna Ihsan
EMPAT PULUH
�Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan
menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya
mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk
berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri
dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah
kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap
dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad
yg kudus.�
EMPAT PULUH SATU
�Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha
besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA.
Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah,
maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA.
Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala
yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka�.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh
Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana
ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6),
beribadah karena Allah dgn kondisi si �Abid dalam keadaan menyaksikan
(melihat langsung) langsung adanya si Ma�bud. Hanya sikap inilah yg akan
mampu membentuk kepribadian yg kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak
mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk
dilayani, bukan selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam
aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan
sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh
menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam �menyaksikan
langsung� ada-NYA Allah. �Persaksian langsung� itulah terjadi dalam
proses manunggal.
EMPAT PULUH DUA
�Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang,
sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali
oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak
ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa
seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain,
sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu
hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa
berkuasa memerintah sesama bangkai.� .
Ihsan berasal dari kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah
pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan
melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta kepada
makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oleh
karena itu, sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan
kebebasan diri. Dan kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti
membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat
yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan
atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan
manusia akan Hyang Widhi�Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan
bahwa �Sesungguhnya mereka tidak mengerti�).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka
manusia sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini
sangat ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi
kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus
ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam
kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan
mengatasnamakan demi penegakan syari�at Islam.
EMPAT PULUH TIGA
�Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri,
sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak.
Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja,
halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta,
ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan,
karena asal dari diri pribadi.�
Pribadi adalah pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan.
Dan itu hanya terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling
Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid. Maka manusia
merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan
manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata
bukan keselamatan dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh
rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya sendiri. Namun keselamatan itu
adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia
berlangsung secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi
manusia, baik melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan
semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah
teologi bumi yg lahir dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga
ketika manusia mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural
juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan
terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan,
memperebutkan sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja
pertentangan antar manusia sebagai akibat perbedaan paham keagamaan,
perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
EMPAT PULUH EMPAT
�Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah
Allah, kang murba amisesa.� .
Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam
bahasa aslinya, dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari
mutiara ucapan tersebut. Secara garis besar maknanya adalah, �Pernyataan
roh, yang bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang
disembah Allah, yang meliputi segala sesuatu.�
Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang
maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam
(pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh
batin manusia tersedia cermin yang disebut mir�ah al-haya� (cermin yang
memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta
mencapai fana� cermin tersebut akan muncul, yang menampakkan
kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka
maka tirai-tirai rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian
dirinya beradu-satu (adhep-idhep), �aku ini kau, tapi kau aku�. Maka
jadilah dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya
sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan
apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
EMPAT PULUH LIMA
�Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang,
sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun
bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun
badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika
penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa
pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan
tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat
tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat
sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat
dunia.� .
Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar
memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos
(manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan
yang sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki
muatan makna pernyataan sufistik, �Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia
pasti mengenal Tuhannya.� Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh
dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana
penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi
tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain adalah
blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya
ialah jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga
adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ
tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau
ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah manusia
terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah
menjadi tanah. Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke
dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af�al Allah. Tentu ke-Esa-an
bukan sekedar af�al, sebab af�al digerakkan oleh dzat. Sehingga af�al
yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af�al itu
dipancarkan.
EMPAT PULUH LIMA
�Segala sesua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar