Menurut R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873)
Tanbihun.com-
Pokok keilmuan Syekh Siti Jenar disebut sebagai “Ngelmu Ma’rifat
Kasampurnaning Ngurip” (ilmu ma’rifat kesempurnaan hidup [the science of
ma’rifat to attain perfection of life]). Ranggawarsita menyebutkan
basis ilmiah ajaran tersebut adalah renungan filsafat yg bentuk aplikasinya adalah metafisika dan etika.
Ajaran metafisika meliputi ontologi,
kosmogoni dan antropologi. Ontologi berbicara tentang Ada dan tidak ada.
Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar merumuskan tentang the Reality of the
Absolute being (hakikat
Dzat Yang Maha Suci) yg memiliki sifat, nama dan perbuatan “Kami”. Dari
“Kami” inilah kemudian muncul “ada” dan “keadaan” lain, yg sifat
hakikinya adalah “Tunggal”.
Manusia yg dalam hidupnya di alam kematian dunia
ini disebut sebagai khalifatullah (wakil Allah=pecahan ketunggalan
Allah), dan kemudian ia harus berwadah dalam bentuk jisim (jasmani) ia
harus menyandang gelar “kawula”, sebab jasad harus melakukan aktivitas
untuk memelihara jasadnya dari kerusakan dan untuk menunda kematian yg
disebut :”ngibadah” kepada yg menyediakan raga (Gusti). Maka kawula
hanya memiliki satu tempat kembali, yakni Allah, sebagai asalnya. Maka
manusia tidak boleh terjebak dalam wadah yg hanya berfungsi sementara
sebagai “wadah” Roh Ilahi. Justru Roh Ilahi inilah yg harus dijaga guna
menuju ketunggalan kembali (Manunggaling Kawula Gusti).
Ajaran ini banyak ditentang karena Tuhan
dan manusia adalah hal yang berbeda. Tuhan yang mencipta sedangkan
manusia yang diciptakan. Jadi antara yang menciptakan dan yang
diciptakan tidak bisa bersatu.
Kalo logikanya orang awam : manusia menciptakan mobil ya brarti mobil
dan manusia memang berbeda. Manusia mengambil bahan baku untuk membuat
mobil diluar dirinya. nah kalau Tuhan menciptakan manusia. Apakah ia
juga mengambil bahan baku diluar diri-Nya?
Ada beberapa martir sufi yang mengakui
ajaran ini misalnya syeh siti jenar dgn slogannya “Tiada Tuhan Melainkan
Aku”. Atau Al Hallaj yang mengatakan “Ana Al Haqq”. Bahkan ada hadist
nabi yang menceritakan bahwa nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan
“Ana Ahmad bi la mim” (Ahad) artinya ya Nabi seakan-akan bilang dirinya
Tuhan. istilah2 tersebut jelas menandakan bahwa Tuhan ada di dalam diri
mereka. Bahkan di Quran pun dikatakan bahwa Allah itu lebih dekat
daripada urat leher kita.
Bagi mereka yang mampu melakukan zikir
hingga mencapai tahan “fana” maka biasanya ia akan mengalami “mahzub”.
Namun mahzub tidak mesti dalam keadaan fana. Mahzub bisa terjadi dalam
keadaan sadar. Manusia yang mengalami mahzub biasanya akan mengatakan
“Subhani” (Maha Suci Aku) dan istilah2 lain yang “meniadakan” dirinya
sendiri sehingga memunculkan Tuhan dalam dirinya.
Ajaran MKG mengajarkan bahwa ada 3 unsur yang menyatu yaitu :
1. Sukma Kawekas (Nur Illahi)
2. Sukma Sejati (Nur Muhammad)
3. Nur Insan
Sasahidan Syekh Siti Jenar…
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe,
satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune
Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan
Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun
kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah
gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing
sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora
kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa
apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam
kabeh, kalawan kodrating-Sun.”
Artinya :
“Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku
sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi
sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg disebut Allah
Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu
cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat
yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal tidak ada
perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar sesuatupun,
Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak
kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak terasa
apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam
dengan kodrat-Ku.”
Ajaran- ajaran Syekh Siti Jenar yang bisa dilacak dalam berbagai karya klasik atau buku lama…yaitu..
- Serat Dewaroetji, Tan Khoen Swie, Kediri, 1928.
- Serat Gatolotjo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931.
- Serat Kebo Kenanga, Tan Khoen Swie, Kediri, 1921.
- Serat Soeloek Walisongo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931.
- Serat Tjebolek, terbitan van Dorp, Semarang, 1886.
- Serat Tjentini, terbitan Bat. Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 4 Jl, Batavia, 1912-1915.
- Kitab
Wedha Mantra, bunga rampai ajaran para wali yang dihimpun oleh Sang
Indrajit, diterbitkan oleh Sadu Budi Solo. PAda tahun 1979 sudah
mengalami cetak ulang yg ke-12.
- Suluk Walisanga, karya R. Tanojo yg di dalamnya memuat dialog-dialog
antara Syekh Siti Jenar dengan Anggota Dewan Walisanga, gubahan dari
karya Sunan Giri II.
- Wejangan Walisanga, dihimpun oleh Wiryapanitra, diterbitkan oleh TB. Sadu Budi Solo, sekitar tahun 1969.
Mengenal Nama Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439
C/1426-1517 M), memiliki banyak nama : San Ali (nama kecil pemberian
orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis
orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi
ulama penyebar Islam
di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan
daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg
muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yg
diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau
Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas
dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni
kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar,
sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti
Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran,
bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah
dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan
Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di
Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran
Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z.
Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung
(nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam
sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita
[1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh
Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai
simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu
sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis
diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat)
persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal
akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah
kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut
manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam
Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu adalah
untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia
ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang
mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg
menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu
wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn
Tuhan sering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya.
Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.
Asal Usul Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829
H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka
Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan
Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari,
Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate,
Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh
Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004;
Sartono Kartodirjo dkk, [i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud,
Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza
Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S.,
The History of Java, 2 vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat
kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana
japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis,
multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai
suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga
dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16
hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala
yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg
mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam
waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa
Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded,
sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun
Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu
berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah
kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia
lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah
kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang
sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali
penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil
San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra
seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin
Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh
Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra
Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang
Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari
Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di
Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh
‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa
al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke
berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik
adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke
India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada
Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari
silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid
thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh
Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin
setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di
sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh
Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh
Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan
Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh
adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena
ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan
pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad
Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan
Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan
Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di
Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan
ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk
Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di
seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi,
putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun
awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti
Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah
atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah
asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi
keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur
Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan
sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri
Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka,
Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran
Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20
tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.
Padepokan Giri Amparan Jati
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai
usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San
Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri
Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat di Cirebon oleh
Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus].
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San
Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf,
balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia
menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi
ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif
Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti
Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam
status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an
tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun
penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar
pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai
titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari “sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli
hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab
Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur
Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan
di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua,
nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan
karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalah proses rohani
tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak
Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi
(hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari
niskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala
dan melebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi
tertinggi yg bebas dari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri
dan mengatasi “Aku”.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan
pengembaraannya menuju Palembang, menemui Aria Damar, seorang adipati,
sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri Maulana Ibrahim Samarkandi.
Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan, Kampung
Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru
kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini,
San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta
yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau
yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan
perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgn para bangsawan suku Tamil
maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki
dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan
di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai
karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah
gelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga
menyiarkan agama Islam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh
jabaranta. Di Malaka ini pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh
Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi
nama keluarga dan nama ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Pencerahan Rohani di Baghdad
Setelah mengetahui bahwa dirinya
merupakan salah satu dari keluarga besar ahlul bait (keturunan
Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuat segera
pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan
mengenai hakikat sufi bersama ulama Malaka asal Baghdad Ahmad
al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu
menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalanan rohaninya yaitu
“ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dan segala
peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg
tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah
semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al
Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian
hari memunculkan tuduhan dari Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar
menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itu pemahaman yg dialami dan
dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensi perbuatan alam atau
manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justru perbuatan
Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia,
sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran
bahwa semua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya
memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di
rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan
sufinya diasah tajam. Sebab di keluarga al-Tawalud tersedia banyak
kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah
peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak
ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg
di kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari
dgn Baik tradisi sufi dari al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922),
al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab
al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074),
futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240),
Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan
al-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti
Jenar sudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran
al-Jili, merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam
Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg
pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa.
Sementara itu para wali anggota Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam
syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun
tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali.
Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya
karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai
pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab
karya Syekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal
Mubarak. Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah
Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca
dan dipahaminya, yg paling berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab
Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi
Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan
tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut,
semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke
Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran
sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh
dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh
paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena
proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn
secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili
dan Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa
ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangat sederhana, lugas, gampang
dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting, memiliki banyak kemiripan
dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya.
Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab
itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta
khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan
dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan
konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana
adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan
membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai
bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada
masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi
sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya
di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman
roh karena hijab yg menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang
akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); dan lawami’
(mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat
melalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam
kalbu yg membuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai
kasyf dan berbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah
Syekh Siti Jenar mendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari
kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir
dikedalaman lubuk hatinya dgn sendirinya ia merasakan denting dzikir
dan menangkap suara dzikir yg berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la
ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni (mahasuci aku, segala puji
untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku, sembahlah aku).
Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membaca dzikir
Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar,
fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi,
sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut.
Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist
Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku
dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar
sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi
(560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga
tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian, ajarannya tidak
dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernah
mengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui
akhir hayat secara biasa.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu
manusia, hal ini membawa Syekh Siti Jenar menuai keberhasilan
menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utama pendakian rohani
seorang salik (pencari kebenaran).
Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani
manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal
(sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’
(bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub
(kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun
(penghalang akal dan nurani).
Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)
1.“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.”
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas
secara garis besarnya adalah: “Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn
Allah, yg menyembah Allah, yg disembah Allah, yg meliputi segala
sesuatu.”
Ini adalah salah satu sumber pengetahuan
ajaran Syekh Siti Jenar yg maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman
jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan
karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ah
al-haya’ (cermin yg memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan
hawa nafsunya serta mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg
menampakkan kediriannya dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini
telah terbuka maka tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga
kesejatian dirinya beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau
aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus
yg disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang
murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu iradah
dan kodrat kawula-Gusti.
2. “Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera.
Pancaindera ini merupakan barang
pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg empunya, akan menjadi tanah dan
membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak
dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan
dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai
pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan
seringkali tidak jujur. Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki,
bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju
perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam
lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai
sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti Jenar, baik
pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan pegangan dan
pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali. Satu-satunya
yg bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan,
Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal
adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di bawah Zat Yang
Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua
budi baik. Jadi pancaindera harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin
oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi
itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama
bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang
Wajibul Maulana dan sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama
tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA.
3.“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya?
Biarpun bersembahyang seribu kali setiap
harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya
menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan,
Apakah para Wali dapat membawa Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat.
Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan
juga tidak akan membuat tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil
yg artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam
semesta sesudah dia membuat dunia.”
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos
sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang
baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau tidak
kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti
Jenar tsb mempunyai muatan makna pernyataan sufistik, “Barangsiapa
mengenal dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh
Siti Jenar manusia yg utuh dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi
penyanda, termasuk penyanda alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan
alam semesta menjadi tanggungjawab manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar
dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti
daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan
adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari
pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian
dengan Allah.
4. “Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah.
Berbagai hal yg dinilai baik maupun
buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat
pandangan yg mengatakan bahwa yg baik dari Allah dan yg buruk dari
selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar
diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situ lah terjadi
perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh Allah kepada
makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku
dalil “Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (Qs.Ash-Shaffat:96)”, yg
maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala apa yg engkau perbuat.
Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yg terlahir dari itu
disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yg terlempar dari
tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan kodrati gerak tangan saya.
Di situ berlaku dalil “Wa ma ramaita idz ramaita walakinna Allaha rama
(Qs.Al-Anfal:17)”, maksudnya bukanlah engkau yg melempar, melainkan
Allah jua yg melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya
antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah
sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi
al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La tataharraku dzarratun illa bi idzni
Allahi”, yg maksudnya tidak akan bergerak satu dzarah pun melainkan atas
idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal ini akan
nampak lebih jelas peranannya, dimana manusia tidak lain adalah
ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab
af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya
ke-Esa-an dzat, kemana af’al itu dipancarkan.
5. “Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah.
Ketahuilah juga apa yg dinamakan
kawula-Gusti tidak berkaitan dgn seorang manusia biasa seperti yg
lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam
tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini
nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya
sudah hidup lagi, Gusti dan kawula lenyap, yg tinggal hanya hidupku
sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA sendiri. Bila kau belum
menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn tepat dapat dikatakan, bahwa
kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak
hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yg menimbulkan hawa
nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu
hanya impian yg sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar
lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yg terikat padanya. Saya tidak
merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya
yg kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.”
Syekh Siti Jenar menyatakan dgn tegas
bahwa dirinya sebagaiTuhan, ia memiliki hidup dan Ada dalam dirinya
sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi dunia. Sehingga
didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman keagamaan, dan
sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu hal yg selalu tampil
dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat bahwa manusia
selama masih berada di dunia ini sebetulnya mati, baru sesudah ia
dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati. Kehidupan ini
sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya sesosok mayat
karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan Zoetmulder; 364).
Dunia ini adalah alam kubur, dimana roh suci terjerat badan wadag yg
dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yg menguburkan kebenaran sejati dan berusaha menguburkan kesadaran Ingsun Sejati.
SURGA DAN NERAKA Syekh Siti Jenar
“anal jannatu wa nara katannalr al anna”,
sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat surga
dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah “inna al-janatu wa
al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka
itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun,
surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan
neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak
dan binasa.
Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka
bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya
manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari
keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi
manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami
kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung,
hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang
Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia.
Jadi, karena surga dan neraka itu
ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga
bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak
mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang
belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat
kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses
kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir………
PUASA dan HAJI Syekh Siti Jenar
“Syahadat,
shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu.
Adapun zakat dan naik haji ke Makah, itu semua omong kosong (palson
kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama
manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan
surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak
tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar.”
“Tiada pernah saya menuruti perintah
budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja,
bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini
idak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua
mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu
dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada
satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”
Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa
syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong belaka”, atau “wes
palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu istilah ini sangat amat
berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan bahwa Syekh
Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas
syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah “iku wes palson
kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau dibuat palsu semua.” Tentu
ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku palsu kabeh” atau “itu palsu
semua.”
Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar
adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa Walisanga telah
mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam pengertian syari’at itu.
Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga manfaat melaksanakan
syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan yang
muncul dari aplikasi formal syariat tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan
hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian.
Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman
spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak dapat
dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya merupakan
keburukan di bumi.
Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi
kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi
alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga). Yang mengajarkan
syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan
tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan
berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah
gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah
shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu. Shalat haruslah
merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai bentuk
ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan
profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah
melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada yang
Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula Gusti,
termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.
Makna Ihsan
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar
Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad
lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia
lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam
pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai
menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar
berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul
yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan
sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat,
kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala
ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA
tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia
sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam
semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari
teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan
sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu
hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si
‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si
Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg
kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan
kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar merasa, hanya
Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-NYA.
Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan
Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi
sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh
menyerukan ajarannya dan memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan
langsung” ada-NYA Allah. “Persaksian langsung” itulah terjadi dalam
proses manunggal.
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh
mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti
penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan,
tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan
kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu
yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Ihsan berasal dari kondisi hati yg
bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh
eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan
menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati
adalah Allah atau Sang Pribadi. Oelh karena itu, sesama manusia dan
makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan
serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan
peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan
atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi manusia
lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang
Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa “Sesungguhnya
mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap Allah Yang Maha
Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering membabi-buta merampas
kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh Syekh Siti
Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan
Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi
akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman manusia yang
mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan demi penegakan
syari’at Islam.
Pribadi adalah pancara roh, sebagai
tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud dengan proses
wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi tauhid.
Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu
sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan
keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau
kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya
sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah
melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses terjadinya keselamatan
dan kesejahteraan manusia berlangsung secara natural (sunnatullah),
bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan ekonomi,
politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui bahwa teologi
Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan sendirinya
sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan
menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta
perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai,
sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama manusia tidak akan
terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat
perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti
tidak akan terjadi.
Tafsir Kisah Musa dan Khidir (Syekh Siti Jenar)
“Sesungguhnya, Khidir AS bukanlah sosok
lain yg terpisah sama sekali dari keberadaan manusia rohani. Apa yg
disaksikan sebagai tanah menjorok dgn lautan di sebelah kanan dan kiri
itu bukanlah suatu tempat yg berada di luar diri manusia. Tanah itulah
yg disebut perbatasan (barzakh). Dua lautan itu adalah Lautan Makna
(bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib) dan
lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam
asy-syahadat).”
“Sedangkan kawanan udang adalah
perlambang para pencari Kebenaran yg sudah berenang di perbatasan alam
kasatmata san alam tidak kasatmata. Kawanan udang perlambang para
penempuh jalan rohani (salik) yg benar-benar bertujuan mencari
Kebenaran. Sementara itu, kawanan udang yg berenang di lautan sebelah
kiri, di antara batu-batu, merupakan perlambang para salik yg penuh
diliputi hasrat-hasrat dan pamrih-pamrih duniawi.”
“Sesungguhnya, peristiwa yg dialami Nabi
Musa AS dgn Khidir AS, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an
Al-Karim, bukanlah hanya peristiwa sejarah seorang manusia bertemu
manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan rohani yg berlangsung di
dalam diri Nabi Musa AS sendiri. Sebagaimana yg telah saya jelaskan, yg
disebut dua lautan di dalam Al-Qur’an tidak lain dan tidak bukan adalah
Lautan Makna (bahr al-ma’na) dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam). Kedua
lautan itu dipisahkan oleh wilayah perbatasan atau sekat (barzakh).”
“Ikan dan lautan dalam kisah Qur’ani itu
merupakan perlambang dunia kasatmata (‘alam asy-syahadat) yg berbeda
dengan wilayah perbatasan yg berdampingan dgn dunia gaib (‘alam
al-ghaib). Maksudnya, jika saat itu Nabi Musa AS melihat ikan dan
kehidupan yg melingkupi ikan tersebut dari tempatnya berdiri, yaitu di
wilayah perbatasan antara dua lautan, maka Nabi Musa AS akan melihat
sang ikan berenang di dalalm alamnya, yaiu lautan. Jika saat itu Nabi
Musa AS mencermati maka ia akan dapat menyaksikan bahwa sang ikan yg
berenang itu dapat melihat segala sesuatu di dalam lautan, kecuali air
(dilambangkan manusia juga sama). Maknanya, sang ikan hidup di dalam air
dan sekaligus di dalam tubuh ikan ada air, tetapi ia tidak bisa melihat
iar dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam air. Itulah sebabnya,
ikan tidak dapat hidup tanpa air yg meliputi bagian luar dan bagian
dalam tubuhnya. Di mana pun ikan berada, ia akan selalu diliputi air yg
tak bisa dilihatnya.”
“Sementara itu, seandainya sang ikan di
dalam lautan melihat Nabi Musa AS dari tempat hidupnya di dalam air
lautan maka sang ikan akan berkata bahwa Musa AS di dalam dunia-yang
diliputi udara kosong-dapat menyaksikan segala sesuatu, kecuali udara
kosong yg meliputinya itu. Maknanya, Nabi Musa AS hidup di dalam liputan
udara kosong yg ada di luar maupun di dalam tubuhnya, tetapi ia tidak
bisa melihat udara kosong dan tidak sadar jika dirinya hidup di dalam
udara kosong. Itu sebabnya, Nabi Musa AS tidak dapat hidup tanpa udara
kosong yg meliputi bagian luar dan dalam tubuhnya. Di mana pun Nabi Musa
AS berada, ia akan selalu diliputi udara kosong yg tidak bisa
dilihatnya.”
“Sesungguhnya, pemuda (al-fata) yg
mendampingi Nabi Musa AS dan membawakan bekal makanan adalah perlambang
dari terbukanya pintu alam tidak kasatmata. Sesungguhnya, dibalik
keberadaan pemuda (al-fata) itu tersembunyi hakikat sang Pembuka
(al-Fattah). Sebab, hijab gaib yg menyelubungi manusia dari Kebenaran
sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, sang Pembuka
(al-Fattah). Itu sebabnya, saat Nabi Musa AS bertemu dgn Khidir AS,
pemuda (al-fata) itu disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan
perlambang keterbukaan hijab ghaib.”
“Adapun bekal makanan yg berupa ikan
adalah perlambang pahala perbuatan baik (al-‘amal ash-shalih) yg hanya
berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannah). Namun, bagi
pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal
gumpalan kabut penutup hati (ghain). Itu sebabnya, sang pemuda mengaku
dibuat lupa oleh setan hingga ikan bekalnya masuk ke dalam lautan.”
“Andaikata saat itu Nabi Musa AS
memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yg lain, apalagi sampai
memburu bekal ikan yg telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa AS
dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (bahr al-ajsam) kembali.
Dan, jika itu terjadi maka setan berhasil memperdaya Nabi Musa AS.”
“Ternyata, Nabi Musa AS tidak peduli dgn
bekal itu. Ia justru menyatakan bahwa tempat di mana ikan itu melompat
ke lautan adalah tempat yg dicarinya sehingga tersingkaplah gumpalan
kabut ghain dari kesadaran Nabi Musa AS. Saat itulah purnama rohani
zawa’id berkilau dan Nabi Musa AS dapat melihat Khidir AS, hamba yg
dilimpahi rahmat dan kasih sayang (rahmah al-khashshah) yg memancar dari
citra ar-Rahman dan ar-Rahim dan Ilmu Ilahi (ilm ladunni) yg memancar
dari Sang Pengetahuan (al-Alim).”
“Anugerah Ilahi dilimpahkan kepada
Khidir AS karena dia merupakan hamba-NYA yg telah mereguk Air Kehidupan
(ma’ al-hayat) yg memancar dari Sang Hidup (al-Hayy). Itu sebabnya,
barang siapa di antara manusia yg berhasil bertemu Khidir AS di tengah
wilayah perbatasan antara dua lautan, sesungguhnya manusia itu telah
menyaksikan pengejawantahan Sang Hidup (al-Hayy), Sang Penyayang
(ar-Rahim). Dan, sesungguhnya Khidir AS itu tidak lain dan idak bukan
adalah ar-roh al-idhafi, cahaya hijau terang yg tersembunyi di dalam
diri manusia, “Sang Penuntun” anak keturunan Adam AS ke jalan Kebenaran
Sejati. Dialah penuntun dan penunjuk (mursyid) sejati ke jalan Kebenaran
(al-Haqq). Dia sang mursyid adalah pengejawantahan yang Maha Menunjuki
(as –Rasyid).”
“Demikianlah, saat sang salik melihat
Khidir AS sesungguhnya ia telah menyaksikan ar-roh al-idhafi, mursyid
sejati di dalam diri manusia sendiri. Saat ia menyaksikan kawanan udang
di lautan sebelah kanan, sesungguhnya ia telah menyaksikan Lautan Makna
(bahr-al-ma’na) yg merupakan hamparan permukaan Lautan Wujud (bahr
al-wujud). Namun, jika terputus penglihatan batiin (bashirab) itu pada
titik ini, berarti perjalanan menusia itu menuju ke Kebenaran Sejati
masih akan berlanjut.”
Sesungguhnya, perjalanan rohani menuju Kebenaran Sejati penuh diliputi
tanda kebesaran Ilahi yg hanya bisa diungkapkan dalam bahasa perlambang.
Sesungguhnya, masing-masing menusia akan mengalami pengalaman rohani yg
berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran.
Yang jelas, pengalaman yg akan manusia alami tidak selalu mirip dgn
pengalaman yg dialami Nabi Musa AS.”
“Setelah berada di wilayah perbatasan,
Khidir AS dan Nabi Musa AS digambarkan melanjutkan perjalanan memasuki
Lautan Makna, yaitu alam tidak kasatmata. Mereka kemudian digambarkan
menumpang perahu. Sesungguhnya, perahu yg mereka gunakan untuk
menyeberang itu adalah perlambang dari wahana (syari’ah) yg lazimnya
digunakan oleh kalangan awam untuk mencari ikan, yakni perlambang
perbuatan baik (al ‘amal ash-shalih). Padahal, perjalanan mengarungi
Lautan Makna menuju Kebenaran Sejati adalah perjalanan yg sangat pribadi
menuju Lautan Wujud. Itulah sebabnya, perahu (syari’ah) itu harus
dilubangi agar air dari Lautan Makna masuk ke dalam perahu dan penumpang
perahu mengenal hakikat air yg mengalir dari lubang tersebut.”
“Setelah penumpang perahu mengenal air
yg mengalir dari lubang maka ia akan menjadi sadar bahwa lewat lubang
itulah sesungguhnya ia akan bisa masuk ke dalam Lautan Makna yg
merupakan permukaan Lautan Wujud. Andaikata perahu itu tidak dilubangi,
dan kemudian perahu diteruskan berlayar, maka perahu itu tentu akan
dirampas oleh Sang Maha Raja (malik al-Mulki) sehingga penumpangnya akan
menjadi tawanan. Jika sudah demikian, maka untuk selamanya sang
penumpang perahu tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju Dia, Yang Maha
Ada (al-Wujud), yg bersemayam di segenap penjuru hamparan Lautan Wujud.
Penumpang perahu itu mengalami nasib seperti penumpang perahu yg lain,
yakni akan dijadikan hamba sahaya oleh Sang Maha Raja. Bahkan, jika Sang
Maha Raja menyukai hamba sahaya-NYA itu maka ia akan diangkat sebagai
penghuni Taman (jannah) indah yg merupakan pengejawantahan Yang Maha
Indah (al Jamal).”
“Adapun Atas Pernyataan kenapa wahana
(syariah) harus dilubangi dan tidak lagi digunakan dalam perjalanan
menembus alam ghaib manuju Dia? Dapat dijelaskan sebagai berikut.”
“Sebab, wahana adalah kendaraan bagi
manusia yg hidup di alam kasatmata untuk pedoman menuju ke Taman
Surgawi. Sedangkan alam tidak kasatmata adalah alam yg tidak jelas
batas-batasnya. Alam yg tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal
manusia mengikat itu tidak bisa berijtihad untuk menetapkan hukum yg
berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir AS melarang Nabi Musa AS
bertanya sesuatu dgn akalnya dalam perjalanan tersebut. Dan, apa yg
disaksikan Nabi Musa AS terdapat perbuatan yg dilakukan Khidir AS
benar-benar bertentangan dgn hukum suci (syari’at) dan akal sehat yg
berlaku di dunia, yakni melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang
anak kecil tak bersalah dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.”
“Namun jika wahana (syari’ah) tidak lagi
bisa dijadikan petunjuk, sebenarnya pedomannya tetaplah sama, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Rasul. Tetapi pemahamannya bukan dgn akal (‘aql)
melainkan dgn dzauq, yaitu cita rasa rohani. Inilah yg disebut cara
(thariqah). Di sini, sang salik selain harus berjuang keras juga harus
pasrah kepada kehendak-NYA. Sebab, telah termaktub dalam dalil araftu
rabbi bi rabbi bahwa kita hanya mengenal Dia dgn Dia. Maksudnya jika
Tuhan tidak berkehendak kita mengenal-NYA maka kita pun tidak akan bisa
mengenal-NYA. Dan, kita mengenal-NYA pun maka hanya melalui Dia
(walaupun kita tidak mau tetapi semua telah kehendak-NYA). Itu sebabnya,
di alam tidak kasatmata yg tidak jelas batas dan tanda-tandanya itu
kita tidak dapat berbuat sesuatu kecuali pasrah seutuhnya dan mengharap
limpahan rahmat dan hidayah-NYA.”
“Tentang makna di balik kisah Khidir AS membunuh seorang anak (ghulam) dapat saya jelaskan sebagai berikut.”
“Anak adalah perlambang keakuan kerdil yg kekanak-kanakan. Kedewasaan
rohani seorang yg teguh imannya bisa runtuh akibat terseret cinta
kepada keakuan kerdil yg kekanak-kanakan tersebut. Itu sebabnya,
keakuan kerdil y kekanak-kanakan itu harus dibunuh agar kedewasaan
rohani tidak terganggu.”
“Sesungguhnya, di dalam perjalanan
rohani menuju Kebenaran Sejati selalu terjadi keadaan di mana keakuan
kerdil yg kekank-kanakan (ghulam) dari salik cenderung mengikari
kehambaan dirinya terhadap Cahaya Yang Terpuji (Nur Muhammad) sebagai
akibat ia belum fana ke dalam Sang Rasul (fana fi rasul). Ghulam
cenderung durhaka dan ingkar terhadap kehambaan kepada Sang Rasul. Jika
keakuan yg kerdil dan kekanak-kanakan itu dibunuh maka akan lahir ghulam
yg lebih baik dan lebih diberbakti yg melihat dengan mata batin bahwa
dia sesungguhnya adalah “hamba” dari Sang Rasul, pengejawantahan Cahaya
Yang Terpuji (Nur Muhammad).”
“Sesungguhnya, keakuan kerdil yg
kekanak-kanakan adalah perlambang dari keberadaan nafsu manusia yg
cenderung durhaka dan ingkar terhadap Sumbernya. Sedangkan ghulam yg
baik dan berbakti merupakan perlambang dari keberadaan roh manusia yg
cenderung setia dan berbakti kepada Sumbernya. Dan sesungguhnya,
perbuatan Khidir AS itu adalah perlambang yg sama saat Nabi Ibrahim AS
akan menyembelih Nabi Ismail AS ‘Pembuhunan’ itu adalah perlambang
puncak dari keimanan mereka yg beriman (mu’min).”
“Adapun dinding yg ditinggikan Khidir AS
adalah perlambang Sekat Tertinggi (al barzakh al ‘a’la) yg disebut juga
dgn Hijab Yang Maha Pemurah (hajib ar-Rahman). Dinding itu adalah
pengejawantahan Yang Maha Luhur (al-Jalil). Lantaran itu, dinding
tersebut dinamakan Dinding al-Jalal (al jidar al-Jalal), yg dibawahnya
tersimpan Khazanah Perbendaharaan (Tahta al-Kanz) yg ingin diketahui.”
“Sedangkan dua anak yatim (ghulamaini
yatimaini) pewaris dinding itu adalah perlambang jati diri Nabi Musa AS,
yg keberadaannya terbentuk atas jasad ragwi (al-basyar) dan rohani
(roh). Kegandaan jati diri manusia itu baru tersingkap jika seseorang
sudah berada dalam keadaan tidak memiliki apa-apa (muflis), terkucil
sendiri (mufrad) dan telah berada di dalam waktu tak berwaktu (ibn
al-waqt). Dua anak yatim itu adalah perlambang gambaran Nabi Musa AS dan
bayangannya di depan Cermin Memalukan (al-mir’ah al-haya’I).”
“Adapun gambaran tentang ‘ayah yg salih’ dari kedua anak yatim, yakni
ayah yg mewariskan Khazanah Perbendaharaan , adalah perlambang diri dari
Abu halih, Sang Pembuka Hikmah (al-hikmah al-futuhiyyah), yakni
pengejawantahan Sang Pembuka. Dengan demikian apa yg telah dialami Nabi
Musa AS dalam perjalanan bersama Khidir AS (QS. Al-Kahfi : 60-82)
menurut penafsiran adalah perjalanan rohani Nabi Musa AS ke dalam
dirinya sendiri yg penuh dgn perlambang (isyarat).”
“Memang Nabi Musa AS lahir hanya satu.
Namun, keberadaan jati dirinya sesungguhnya adalah dua, yaitu pertama
keberadaan sebagai al-basyar ‘anak’ Adam AS yg berasal dari anasir tanah
yg tercipta; dan keberadaannya sebagai roh ‘anak’ Cahaya Yang Terpuji
(Nur Muhammad) yg berasal dari tiupan (nafakhtu) Cahaya di Atas Cahaya
(Nurun ‘ala Nurin). Maksudnya, sebagai al-basyar, keberadaan jasad
ragawi nabi Musa AS berasal dari Yang Mencipta (al-Kha-liq).”
“Sehingga tidak akan pernah terjadi
perseteruan dalam memperebutkan Khazanah Perbendaharaan warisan ayahnya
yg shalih. Sebab, saat keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan
Dinding al-jalal (al-jidar al-Jalal) dan mendapati dinding itu runtuh
maka saat itu yg ada hanya satu anak yatim. Maksudnya, saat itu
keberadaan al-basyar ‘anak’ Adam AS akan terserap ke dalam roh ‘anak’
Nur Muhammad. Saat itulah sang anak sadar bahwa ia sejatinya berasal
dari Cahaya di Atas cahaya (Nurun ‘ala Nurin) yg merupakan pancaran dari
Khazanah Perbendaharaan. Sesungguhnya, hal semacam itu tidak bisa
diuraikan dgn kaidah-kaidah nalar manusia karena akan membawa kesesatan.
Jadi, harus dijalani dan dialami sendiri sebagai sebuah pengalaman
pribadi.”
Penjelasan tentang konsep Shiratal Mustaqim (Syekh Siti Jenar)
“Saya hanya memberi sebuah petunjuk yg
bisa digunakan untuk meniti jembatan (shirath) ajaib ke arah-NYA. Saya
katakan ajaib karena jembatan itu bisa menjauhkan sekaligus mendekatkan
jarak mereka yg meniti dgn tujuan yg hendak dicapai.”
“Sebagaimana kisah Nabi Musa AS dalam
perjalanan mencari Khidir AS, jembatan itu memiliki empat bagian mantra
yg masing-masing memiliki pintu. Pertama, mantra istighfar
yg berisi perlambang Nabi Musa AS bersama pemuda (al-fata) menjumpai
Khidir AS di perbatasan antara dua lautan. Kedua, mantra salawat yg
berisi perlambang Khidir AS melubangi perahu. Ketiga, mantra dalil yg
berisi perlambang Khidir AS membunuh anak. Keempat, mantra nafs al-haqq
yg berisi perlambang Khidir AS menegakkan dinding yg di bawahnya
tersembunyi perbendaharaan.”
Bagi kalangan awam, istighfar lazimnya
dipahami sebagai upaya memohon ampun kepada al-ghaffar sehingga mereka
beroleh ampunan (maghfirah). Tetapi bagi para salik, istighfar adalah
upaya memohon pembebasan dari ‘belenggu’ (penjara) kekauan kepada
al-ghaffar sehingga beroleh maghfirah yg menyingkap tabir ghain yg
menyelubungi manusia. Sesungguhnya di dalam Asma’ al-Ghaffar terangkum
makna Maha Pengampun dan juga Makna Maha Menutupi, Maha menyembunyikan
dan Maha Menyelubungi.”
“Sesungguhnya perjalanan manusia, ketika sudah mengalami kasyf al-hijab
ia telah sampai ke bagian jembatan yg disebut mantra istighfar. Tabir
ghain yg menyelubungi keakuannya telah menyingsing. Ia telah menyaksikan
Khidir AS, namun karena kadang ia terperangkap pada keinginan untuk
memperoleh karunia-NYA semata (karamah dari kealian), namun ia hanya
berputar-putar di mantra istighfar yg penuh diliputi gambaran-gambaran
indah karunia-NYA.”
“Cara melepaskan hal itu, agar ia sampai
pada mantra salawat adalah dgn “Melubangi perahu” seperti yg dilakukan
Khidir AS hal ini harus dilakukan.”
“Tanpa melubangi perahu (maksudnya
tinggalkan akal dimana itu hanya sekedar pancaindera yg tidak kekal dan
hanya niat yg tulus dan “kasih” maka akan diberikan hidayah bagi yg
demikian…..seperti Prabu Jayabaya melakukan Moksa, Beliau meninggalkan
segala bentuk atribut kerajaan yg diperlambang meninggalkan akal..dan
intinya kembali ke fitrah seorang bayi yg melihat dgn “kasih” tanpa ada
kerajaan “Akal” di kepalanya), sang salik tidak akan mengetahui hakikat
sejati Lautan Wujud (bahr al-wujud). Tanpa melubangi perahu maka
kedudukan salik tidak jauh berbeda dgn kedudukan para nelayan;
memanfaatkan perahu untuk mencari ikan (pahala) dan berbagai karunia-NYA
yg terhampar di permukaan Lautan Wujud, yg selain bergelombang dahsyat
juga berisiko dihadang Sang Rajadiraja (al-Malik al-Mulki) yg setiap
saat akan merampas perahu-perahu yg baik.”
“Di mantra salawat ini sang salik harus
menyadari kehambaannya kepada Yang Maha Terpuji (ahmad) sebagai Sumber
segala kejadian. Di Mantra itu sang salik harus menjadi ghulam yg baik
dan berbakti kepada sumbernya, yakni pancaran Air Kehidupan yg mengalir
dari lubang perahu yg dibuat Khidir AS Ghulam yg durhaka dan mengingkari
kehambaannya kepada Yang Terpuji harus dibunuh. Sang salik yg tenggelam
ke dalam mantra salawat ini disebut fana ke dalam Rasulullah (fana’ fi
rasul).”
“Air Kehidupan yang memancar dari lubang
itu sesungguhnya sama hakikatnya dgn Air Kehidupan yg tergelar di
hamparan Lautan Wujud. Walau demikian, tanpa melalui Air Kehidupan yg
mengalir dari lubang maka salik tidak akan mencapai Air Kehidupan yg
tergelar di Lautan Wujud.”
“Mantra tahlil adalah mantra Ke-Esa-an. Mantra Tauhid. Inilah mantra
Ke-Esa-an Wujud; Lautan Wujud sama hakikatnya dengan Air Kehidupan.
Ibarat ungkapan kesaksian tidak ada ilah selain Allah (la ilaha illa
Allah), demikianlah di mantra ini terungkap kesaksian tidak ada air lain
yg tergelar di hamparan Lautan Wujud kecuali Air Kehidupan (Ma’
al-Hayy) yg mengalir dari Sang hidup (al-Hayy). Inilah mantra yg
diibaratkan dalam perlambang dinding yg ditegakkan Khidir AS yg di
bawahnya tersembunyi perbendaharaan.”
“Mantra nafs al-haqq adalah mantra
rahasia yg tidak bisa diuraikan. Sebab, mantra ini menyangkut
Perbendaharaan Tersembunyi yg terdapat di bawah dinding. Tak ada satu
pun di antara makhluk yg mengetahui keberadaan-NYA, kecuali memang
dikehendaki-NYA. Jika Al Qur’an saja tidak memberikan penjelasan tentang
apa sesungguhnya Perbendaharaan, tentunya manusia tidak boleh
menghayal-khayal tentang Perbendaharaan itu. Gambaran Nabi Musa AS yg
berpisah dengan Khidir AS di mantra itu adalah kearifan dari Sang
Pencerita untuk tidak mengungkapkan apa yg tidak dapat dipahami
pendengar-NYA.”
Bagi Syekh Siti Jenar, bentuk lafadz
istighfar, shalawat, tasbih, tahlil dan semacamnya sebenarnya
lafadz-lafadz yg menuntut menusi untuk menempuh jalan menuju
kemanunggalan. Sehingga kalimat-kalimat tersebut tidaklah cukup hanya
dijadikan ucapan penghias bibir belaka. Kalimat-kalimat tersebut
hakikatnya adalah urat nadi perjalanan rohani manusia, yg penyelami
atasnya dapat membawa ke samudera ma’rifat untuk mengenal dan
mendekati-NYA dan kemudian menghampiri-NYA untuk manunggal dalam
keabadian. Sehingga mantra-mantra dari kalimat itu akan tetap terbawa
kesadarannya tetap mengiringinya dengan senyum menuju Haribaan-NYA.
Yakinlah kamu atas nama Allah maka kamu akan sampai dgn
kehendak-NYA…Amin…amin…
Pelaksanaan Haji Syekh Siti Jenar
Bagi Syekh Siti Jenar, ibadah haji di
al-Haramain merupakan tindakan atau laku ‘abid yg sedang menjalankan
ibadah untuk mengarahkan kiblat kepada Ma’bud. Inilah inti ibadah haji
yg menurut Syekh Siti Jenar akan mampu membawa pencerahan bagi
pelaksananya. Haji bukan semata-mata melaksanakan ihram, thawaf, sa’I,
wuquf, bermalam di Muzdalifah dan Masy’ar al-Haram dan melempar jumrah secara badani.
Tetapi makna hakiki haji bagi Beliau
adalah peribadatan yg mampu membawa seorang salik mendaki maqam
jasadiyah ke maqam rohaniyah; tindakan manapaki kembali jejak Adam yg
terusir dari surga, ke asal penciptaan yg mulia di antara semua
hamba-NYA, yaitu Adam yg kepadanya seluruh malaikat bersujud dan
dibanggakan Rabb-nya karena mengetahui nama-nama serta berwawansabda dgn
al-Khaliq.
Demikian pula dgn Makkah. Bagi Beliau
kota suci ini merupakan tempat meningkatkan kualitas kehidupan
mistiknya. Ka’bah sebagai “pusat kosmik” merupakan tempat khusus
memperoleh pengalaman rohani yg tidak mungkin diperoleh di temapat lain.
Perenungan yg demikian dalam itulah yg kemudian menghasilkan pengalaman
spiritual, menuju puncak ma’rifatullah.
Pengalaman spiritual pertama, Syekh Siti
Jenar mengalami ke fana’-an yg lebih tinggi dibanding pengalaman
spiritual yg sudah lewat. Dalam keadaan fana’-nya itu, ia mengalami
pandangan lawami’, menyaksikan seorang pemuda yg telah sampai kepada
tingkatan puncak dalam pendakian spiritual. Melalui isyarat (pembicaraan
dgn bahasa perlambang) dan al-ima’ (pembicaraan tanpa lisan dan bahasa
perlambang), pemuda tersebut mengungkap jalan menuju-NYA; menembus
berbagai tabir hijab dualitas insaniyah dan Ilahi-yah, memasuki samudera
sifat dan Asma Allah. Beliau dituntun menjadi al-Insan al-Kamil, dimana
potensi Roh al-Haqq yg bersemayam dalam Baitul Haram hati-jiwanya,
dioptimalisir bagi eksistensi dirinya di dunia. Jika Roh al-Haqq ini
tidak dioptimalisasikan, maka hakikat manusia hidup adalah hanya sebagai
mayat atau bangkai. Demikian pula jalur ibadah formal yg tidak disertai
kebangkitan Roh al-Haqq, tidak akan memiliki efektivitas apapun, bagi
kehidupan sejati di akhirat kelak.
Roh al-Haqq dari lubuk Abitul Haram hati
itulah yg menjalin relasi dgn Dia (Huwa), yg meniupkan roh-NYA melalui
nafs al-rahman. Melalui jalur itulah akan tersingkap seluruh rahasia
keberadaan al-Haqq (Yang Riil) yg menjadi esensi sekaligus substansi Roh
al-Haqq. Jalinan antara al-Haqq dan Huwa (Dia Yang Mutlak Tak Terbatas)
itulah hakikat sejati dari fana’ fi tauhid; Yang Riil Yang Beragam
(farq), manunggal dengan Yang Satu (Jam’).
Setelah Beliau mengalami pengalaman
puncak spiritual yg dahsyat tsb, kembali terjadi pengalaman kedua.
Melalui nur lawami’ dan fawa’id-nya, ia mengetahui bahwa pemuda yg
semula membimbingnya mengalami pengalaman puncak, tiada lain dan tidak
bukan adalah Abu Bakar al-Shidiq, sahabat etrkasih Rasulullah.
Pengalaman pertemuan dgn roh Abu Bakar itu terjadi dalam kondisi ekstase
kesufian, ketika kesadaran jiwanya berada dalam ‘alam al-khalaq (alam
kasatmata)dgn ‘alam al-khayal (alam imajinasi).
Pengalaman ketiga, terjadi ketika thawaf
wada’. Ketika kondisi rohaninya sedang berada dalam ke-fana’-an, ia
merasakan nur dalam dirinya menyatu dgn Nur Muhammad. Dalam pergulatan
kalbunya itu, kemudian ia terbawa dalam situasi yg mencengangkan.
Mendadak Ka’bah dan segala yg disekitarnya lenyap. Ia berada di alam
syahadah yg maha-luas, dimana seluruh tubuhnya memancar Nur. Ia
merasakan dan menyatu dgn Nur, sehingga ia tidak tahu lagi tentang
eksistensi dirinya. Antara sadar dan tidak, ia merasakan al-Haqq yg
bersemayam di arsy Baitul Haram hatinya berkata-kata sendiri, “Ana sirr
al-Haqqi wa ma al-Haqq ana, wa ANA AL-HAQQ fa innani ma ziltu aba wa bi
al-Haqqi haqqun.”
Di Makkah beliau telah berhasil mencapai
kemanunggalan. Kini seluruh pandangan beliau telah selalu berada dalam
‘ain al-bashirah, sebagai pengejawantahan dari al-Bashir.
Ketika Syekh Siti Jenar berada di depan
kubur Rasulullah, ia kembali mengalami lintasan-lintasn rohani yg
menakjubkan. Kali ini melalui pandangan al-bashirah-nya, ia dieprtumukan
dgn sosok agung Muhammad SAW, yg mengungkapkan rahasia Nur Muhammad dan
wujudiyah kepada Syekh Siti Jenar, mengungkapkan rahasia kalimat, “Ana
min nur Allah wa khalq kulluhum min nuri.” Demikian pula mengenai
rahasia Haqiqah Muhammad, yg di dalamnya terhadap nama lain Nabi
Muhammad, yaitu “Ahmad” itulah yg dimaksud dalam hadist “ana Ahmadun
bi-la mim.” Yg maksudnya adalah “Aku tidak lain adalah Ahad.” Jadi Nabi
Muhammad yg diberi nama semesta “Ahmad” tidak lain adalah
pengejawantahan dari sang “Ahad” sendiri.
Dari pengalaman kemanunggalan yg dialami
di Makkah itu, Syekh Siti Jenar tidak bisa membedakan antara fana’ fi
Allah dan fana’ fi rasul, sebab hakikat dan esensinya sama. Fana’ fi
rasul, melalui rahasia di balik nama “Ahmad”, tidak lain juga fana’ fi
al-Ahad.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar