A. PENGERTIAN TASAWUF
Kata sufi mulanya muncul pada abad ke-9. Asal usul kata ini dibahas
oleh hujwiri pada abad ke-11. Ia mengemukakan nama itu mungkin berasal
dari kata shuf (yang berarti wol), karena kaum sufi memakai busana wol.
Atau dari ahli suffah, nama yang dilekatkan pada orang-orang yang
tinggal diberanda masjid Nabi Muhamad. Atau dari shaft (yang berarti
kesucian). Nabi Muhamad menyatakan “Barang siapa mengenal dirinya, maka
ia mengenal penciptanya”. Tasawuf adalah jalan kembali kekeadaan azali
manusia, jalan yang ditempuh untuk menemukan makna dan tujuan, untuk
mencapai ketenangan dan kehidupan abadi, jalan yang ditempuh orang untuk
bisa pulang kerumah. Dalam literatur barat, tasawuf sering disebut
mistisme Islam. Sebab ia adalah jalan bagi pengalaman pribadi tentang
cinta ilahi dan ia mencakup pemahaman ektase yang dikenal dengan mistis.
Tasawuf berarti mengalami dan menghayati realitas agama, penemuan dan
realitas yang dicanangkan oleh semua Nabi. Semua orang di karuniai
potensi untuk menemukan rahasia kehidupan ini. Pengalaman tidak bisa
dicapai melalui nalar dan logika, melainkan harus datang dari lubuk hati
terdalam. Tasawuf adalah Islam, karena Islam berarti berserah diri
kepada Tuhan, dan tujuan Tasawuf adalah berserah diri kepada Tuhan,
syarat untuk mencapai penyatuan dengan Tuhan sang kekasih.
B. HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM
Ilmu kalam adalah disiplin ilmu keIslaman yang banyak mengedepankan
pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan
kalam ini biasanya mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam
dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah.
Argumentasi yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung
menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah
biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Al-Qur’an dan
hadits. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam
terkesan tidak menyentuh rasa rohaniah. Sebagai contoh, ilmu kalam
menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’, Bashar, Kalam, Iradah, Qudrah,
Hayat, dan sebagainya. Namun, ilmu kalam tidak menjelaskan bagaimana
seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan
melihatnya, bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika membaca
Al-Qur’an, bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta
merupakan pengaruh dari kekuasaan Allah ?
Pernyataan-pernyataan diatas sulit terjawab hanya dengan berlandaskan
pada ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada
penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu Tasawuf. Disiplin inilah yang
membahas bagaimana merasakan nilai-nilai akidah dengan memperhatikan
bahwa persoalan bagaimana merasakan tidak saja termasuk dalam lingkup
hal yang diwajibkan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan
definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan
batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau
metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman. Sebagaimana
dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu
tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab
terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap
saja melaksanakannya.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut.
1. Sebagai
pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang
mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih
terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu
Tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam.
- Berfungsi
sebagai pengendali ilmu Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu
aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan
baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan
penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah
diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah
diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
- Berfungsi
sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam.
Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung
menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional disamping muatan
naqliyah, ilmu kalam dapat bergerak kearah yang lebih bebas. Disinilah
ilmu Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam
terkesan sebagai dialektika keIslaman belaka, yang kering dari kesadaran
penghayatan atau sentuhan hati.
Andaikata
manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan
dengki akan sirna, kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri,
niscaya tidak akan ada rasa sombong dan membanggakan diri. Kalau saja
manusia sadar bahwa Allahlah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan
ada sifat ujub dan riya. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid
merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian para
kaum sufi). Dalam ilmu Tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian
ilmu kalam terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis
dan aplikatif.
C. HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU FALSAFAH
Biasanya
Tasawuf dan filsafah selalu dipandang berlawanan. Ada juga anggapan
bahwa pencarian jalan Tasawuf mengharuskan pencelaan filsafat, tidak
hanya berupa timbal balik dan saling mempengaruhi, bahkan asimilasi
(perpaduan) dan hubungan ini sama sekali tidak terbatas pada kebencian
dan permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan
dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah.
Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang
rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang
telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya
intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun
intelek intuitif (dzawqi).
Hubungan antara Tasawuf dan filsafat, yaitu :
- Bentuk
hubungan yang paling luas antara Tasawuf dan filsafat tentu saja adalah
pertentangan satu sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-karya
al-Ghazali bersaudara, Abu hamid dan Ahmad. Dan penyair sufi besar
seperti Sana’I, Athar, dan Rumi. Kelompok sufi ini hanya memperhatikan
aspek rasional dari filsafat, dan setiap kali berbicara tentang intelek,
mereka tidak mengartikan intelek dalam arti mutlaknya, namun mengacu
kepada aspek rasional intelek (akal). Athar juga memahami filsafat hanya
sebagai filsafat peripatetic yang rasionalistik, dan menekankan bahwa
hal itu tidak boleh dikelirukan dengan misteri ilahiah dan pengetahuan
ilahiah, yang merupakan usaha puncak pensucian jiwa dibawah bimbingan
spiritual para guru sufi. Intelek tidak sama dengan hadist Nabi dan
falsafah tidak sama dengan teosofi (hikmah) dalam makna Qur’aninya.
Matsnawi adalah sebuah Masterpiece filsafat.
- Hubungan
antara Tasawuf dan filsafat tampak dalam munculnya bentuk khusus yang
terjalin erat dengan filsafat. Meskipun bentuk tasawuf ini tidak
menerima filsafat peripatetic dan mazhab-mazhab filsafat lain yang
seperti itu, namun ia sendiri tercampur dengan filsafat atau teosofi
(hikmah) dalam bentuknya yang paling luas. Dalam mazhab Tasawuf itu,
intelek sebagai alat untuk mencapai realitas tentang yang mutlak dengan
memperoleh kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, dalam tasawuf
berkembang satu jenis teosofi (ilmu ilahi) yang tidak hanya datang untuk
menggantikan filsafat didunia Arab, tapi di Persia ia juga amat
mempengaruhi jika bukan menggantikan filsafat dan kemudian secara amat
efektif menggabungkan filsafat dan Tasawuf, bahkan mengganti nama
Tasawuf menjadi Irfan (gnosis,makrifat) pada periode safawi. Penentangan
terhadap filsafat masih tetap tampak, tapi penentangan ini sebenarnya
muncul dalam kaitannya dengan istilah falsafah dan rasionalisme.
Hubungan Tasawuf dan filsafah berbeda dari apa yang diamati dalam
tasawuf yang didominasi cinta, seperti pada Athar dan lainnya.
- Hubungan
antara Tasawuf dan filsafat ditemukan dalam karya-karya para sufi yang
sekaligus juga filosof, Yang telah berusaha untuk merujuk tasawuf dan
filsafat. Afdhaluddin kasyani, Quthbuddin syirazi, Ibd Turkah
al-Isfahani, dan Mir Abul Qosim findiriski, orang-orang ini seluruhnya
adalah sufi yang berjalan pada jalan spiritual dan telah mencapai maqam
spiritual, dan beberapa diantara mereka terdapat para wali, tetapi pada
saat yang sama secara mendalam memahami filsafat dan cukup mengherankan,
beberapa diantara mereka lebih tertarik pada filsafat peripatetic dan
rasionalistik daripada filsafat intuitif (dzawqi), sebagaimana dapat
diamati dalam kasus Mir Findiriski yang amat mendalami As-Syifanya Ibnu
Sina. Diantara kelompok ini, Afdhaluddin Kasyani memegang kedudukan yang
unik. Ia tidak hanya salah satu sufi terbesar yang hingga hari ini
mouseleumnya di Maqam Kasyani menjadi tempat Ziarah, baik orang-orang
yang awam maupun orang-orang terpelajar, tetapi ia juga dianggap sebagai
salah satu filosof Persia terbesar yang sumbangannya bagi pengembangan
bahasa filsafat Persia tak tertandingi. Karya-karya filsafatnya dalam
logika, teologi, ataupun dalam ilmu-ilmu alam ditulis dalam bahasa
Persia yang jelas dan fasih, dan merupakan Masterpiece dalam bahasa ini.
Ia tidak hanya menunjukkan dengan jelas wawasan tasawuf dalam
syair-syairnya, namun dalam hal logika dan filsafat yang paling ketat
sekalipun. Figur besar lain seperti Quthbuddin al-Syirazi, yang dalam
masa remajanya bergabung dengan para sufi dan juga menulis karya besar
dalam filsafat peripatetic dalam bahasa Persia, Durrat al-Tajj, lalu bin
Turkah Isfahani, yang Tamhid al-Qawaidnya merupakan Masterpiece
filsafat sekaligus Tasawuf, dan Mir Abul Qosim Findiriski, yang menjadi
komentator karya metafisika Hindu penting, Yoga Vaisithsa adalah sufi
dan ahli makrifat yang kepadanya banyak mukjizat dinisbatkan. Mereka
semua sesungguhnya adalah para pengikut mazhab Afdhluddin Kasyani,
sejauh menyangkut upaya pemantapan hubungan antara Tasawuf dan Filsafat.
- Kategorisasi
umum kita mengenai hubungan Tasawuf dengan filsafat, mencakup para
filosof yang mempelajari atau mempraktekan Tasawuf. Yang pertama dari
kelompok ini adalah Al-Farabi, yang mempraktekan Tasawuf dan bahkan
telah mengubah musik yang dimainkan dalam pertemuan Sama’ pada sufi,
mutiara hikmah yang dinisbatkan kepadanya sangatlah penting. Karena,
pada dasarnya, inilah buku mengenai filsafat maupun makrifat dan hingga
kini diajarkan di Persia bersama komentar-komentar makrifati.
D. HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU FIQIH
Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari Thaharah,
kemudian persoalan-persoalan kefiqihan lainnya. Namun, pembahasan ilmu
fiqih tentang thaharah atau yang lainnya secara tidak langsung terkait
dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Persoalannya sekarang,
disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqih dalam
persoalan-persoalan tersebut ? Ilmu Tasawuf tampaknya merupakan jawaban
yang paling tepat karena ilmu ini berhasil memberikan corak batin
terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud adalah ikhlas dan khusyuk
berikut jalannya masing-masing. Bahkan ilmu ini mampu menumbuhkan
kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Akhirnya,
pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan
rohaniah.
Dahulu para ahli fiqih mengatakan “Barang siapa mendalami fiqih, tetapi
belum bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi
belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Dan Barang siapa melakukan
ke-2 nya, berarti ia melakukan kebenaran”. Tasawuf dan fiqih adalah 2
disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan
antara ke-2 nya, berarti disitu terjadi kesalahan dan penyimpangan.
Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fiqih, atau seorang
ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli sufi harus bertasawuf
(sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih. Tegasnya, seorang
fiqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang
berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus
mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Ini
menjelaskan bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu Fiqih adalah 2 disiplin ilmu
yang saling melengkapi.
E. HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU JIWA
Dalam pembahasan Tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan
badan. Yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan
badan dalam Tasawuf tersebut adalah terciptanya keserasian antara ke-2
nya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam
rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikan manusia
dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat
terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia,
apakah dkategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik. Jika
perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang
berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkannya jelek,
ia disebut sebagai orang yang berakhlak jalek. Dalalm pandangan kaum
sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang
berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah
nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang akan tampil dalam perilakunya
adalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa
adalah nafsu insani, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku
insani pula. Orang yang sehat mentalnya adalah yang mampu merasakan
kebahagiaan dalam hidup, karena orang-orang inilah yang dapat merasakan
bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan segala potensi
dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawa kebahagiaan dirinya
dan orang lain. Disamping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti
yang luas, terhindar dari kegelisahan-kegelisahan dan gangguan jiwa,
serta tetap terpelihara moralnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar