MASIH RELEVANKAH AJARAN SYEKH SITI JENAR DEWASA INI?
Oleh: Ir. Achmad Chodjim, MM
Tema seminar/sarasehan
budaya hari ini adalah agama ageming aji, yaitu agama sebagai
nilai-nilai luhur yang menjadi landasan hidup bangsa Indonesia, sesuai
dengan sila pertama pada Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama dalam
bingkai ageming aji bukanlah agama dalam arti golongan atau agama
sebagai organisasi (organized religion), tetapi agama sebagai basis
moralitas dan perilaku manusia.
Agama dalam arti ini pernah menjadi polemik dan perang wacana di Kepulauan Nusantara –karena Indonesia belum lahir– dan tepatnya di P. Jawa pada pertengahan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16.
Tokoh sentral dalam polemik dan perang wacana pada masa itu adalah
Syekh Siti Jenar atau dikenal dengan nama Syekh Lemah Abang. Dia seorang
guru dan pelaku spiritual yang mengajarkan agama sebagai jalan hidup
dan bukan sebagai kepercayaan. Meskipun Syekh seorang muslim, tetapi
ajarannya menarik berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang ada waktu
itu. Mereka yang belajar dan menjadi murid Syekh berasal dari berbagai
kalangan, baik kalangan elite –yaitu para adipati– maupun rakyat biasa.
Mereka berasal dari pemeluk Hindu, Biddha, Syiwa-Buddha, Islam, dan
pemeluk kepercayaan yang berkembang di Jawa waktu itu.
Foto bersama Saudara dari PU, SI, BECEKA, Gantharwa, dan praktisi spiritual yang lain di kediaman Ahcmad Chodjim 210509.
Apa yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar sehingga daya tarik
ajarannya luar biasa dan menyebabkan penguasa Kesultanan Demak Bintara
kegerahan waktu itu? Yang diajarkan sebenarnya bukanlah hal yang asing
bagi mereka yang hidup di Kep. Nusantara waktu itu. Yang diajarkan
adalah paham MKG (Manunggaling Kawula Gusti), yaitu satunya hamba dengan
Tuhan. Paham ini sudah ada di agama Hindu dan Buddha yang sebelum
berdirinya Kesultanan Demak, dipeluk oleh mayoritas penduduk Nusantara.
Paham ini diikuti oleh kalangan sufi dalam agama Islam. Bahkan, mereka
yang dikenal sebagai anggota Walisanga juga berpaham MKG. Padahal,
berdasarkan sejarah Walisanga yang bergelar sunan itu adalah pendukung
dan penasehat Sultan Demak di zaman itu.
Meskipun Walisanga dan Syekh Siti Jenar sepaham, tetapi pada tataran
implementasinya dalam kehidupan berbeda. Bagi Siti Jenar, MKG merupakan
landasan, jalan dan alat untuk menjadikan manusia merdeka sejati. MKG
menggerakkan manusia untuk menjadi dirinya sendiri, menjadikan manusia
yang memiliki kepribadian. Inilah inti dari MKG yang diajarkan oleh
Syekh Siti Jenar. Tentu pikiran semacam ini melompat terlalu jauh ke
depan pada zamannya. Jangankan pada masa 500 tahun yang lalu, dewasa ini
saja sebagian besar orang tidak hidup sebagai pribadi, tetapi hidup
berdasarkan pikiran orang lain.i Sedangkan MKG yang diajarkan oleh
Walisanga lebih bersifat teoritis, dan tidak memberikan implikasi nyata
dalam kehidupan masyarakat.
Ajaran MKG Siti Jenar mendobrak feodalisme yang tumbuh subur pada
masa itu, sedangkan Walisanga justru melanggengkan sistem feodalisme.
Syekh membangkitkan kesetaraan antara kawula (rakyat) dengan rajanya
(Gusti). Walisanga melestarkan sistem rakyat menyembah raja. Syekh
membebaskan orang dari belenggu ketakhayulan dan pikiran picik,
sedangkan Walisanga malah menjadikan agama dan kepercayaan sebagai alat
kekuasaan.
Puncak pertarungan paham berakhir ketika Sultan
Patah memerintahkan Walisanga untuk menghentikan kegiatan mengajar
Syekh dan pengikutnya dihancurkan. Untung tak dapat diraih malang tak
dapat ditolak, kata peribahasa. Ajaran Syekh Siti Jenar dipadamkan
–meski demikian, ajaran SSJ tetap berjalan dan disampaikan secara
sembunyi-sembunyi. Rakyat patuh kepada raja secara pasif, sedangkan
kalangan elite berebut kekuasaan. Akibatnya, umur kerajaan tak ada yang
panjang, Demak jatuh disusul dengan berdirinya Pajang, dan dalam satu
generasi saja Pajang hilang dan muncul Mataram.
Karena rakyat bodoh dan elite kerajaan berebut kekuasaan, maka
Mataram hanya dalam kurun waktu 50 tahun berdiri sudah goyah karena
adanya infiltrasi VOC, yang akhirnya Mataram menjadi negara taklukan
VOC. Hal ini saya sampaikan dalam seminar/sarasehan
ini agar dapat menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Dengan
memperhatikan kembali ajaran Syekh Siti Jenar kita akan dididik untuk
menjadi manusia merdeka, sehingga siap untuk menahan gangguan dan
ancaman asing agar bangsa Indonesia tidak terus-menerus terjajah oleh
negara lain dalam segala bentuknya.
Sembilan Ajaran Pokok Syekh Siti Jenar
Sebagaimana dituturkan di atas, manusia hidup di atas bangunan opini
atau pendapat orang lain. Pada umumnya manusia tidak mengetahui hakikat
hidupnya sendiri, dan tidak mengetahui dengan pasti apa yang akan
terjadi pada dirinya. Pikiran sebagian besar orang merupakan pendapat
orang lain, sehingga kita berbicara menggunakan bahasa orang lain.
Mereka yang berpengaruhlah yang telah menanamkan pengaruhnya yang berupa
bahasa, perilaku, pendapat, dan sebagainya untuk membangun identitas
tunggal.
Adalah Kierkegaard –seorang filosof Barat– yang menyatakan bahwa
sekelompok besar orang selalu menghilangkan identitas pribadi. Oleh
karena itu, sebagian besar orang yang beragama (memeluk agama resmi)
biasa melakukan ritual dan menjalankan apa yang biasa dilakukan atau
diharapkan oleh orang lain, tanpa penghayatan pribadi apa yang
dilakukankannya. Kebanyakan orang hidup dalam kedangkalan dan formalisme
kosong, dan demikianlah yang terjadi sehingga seluruh generasi terjebak
dipinggiran akal budi yang berlumpur. Inilah yang menyebabkan roda
kemajuan berhenti berputar.[i]
Pendapat sebagai hasil olah pikir manusia berkembang terus, dan bila
pemikiran seseorang, suatu golongan atau bangsa mandek, maka ia akan
terlindas oleh perubahan yang terjadi di dunia ini. Bangsa yang
pemikirannya terlindas atau tertinggal akan menemui banyak masalah dalam
hidupnya, dan kenyataan itu bisa kita saksikan dewasa ini.
Perhatikanlah apa yang terjadi pada negara-negara tidak maju atau sedang
berkembang! Kemiskinan, kebodohan, mutu kesehatan yang rendah, serta
rusaknya lingkungan hidup merupakan bukti mandeknya pemikiran.
Tanpa berpikir manusia tidaklah sama dengan hewan, tetapi malah lebih
buruk daripada kehidupan hewan. Bila hewan lapar, maka secara naluri
akan tertuntun menuju sumber makanan, tetapi tanpa berpikir untuk
mencari makan manusia akan mengalami kematian. Oleh karena itu, manusia
berandai-andai, dan perlu berasumsi. Manusia berusaha menggunakan
akal-pikirannya untuk menciptakan nilai tambah pada segala sesuatu yang
ada di sekitarnya. Berbagai benda diberi nilai atau “aji” sesuai dengan
tingkat kelangkaannya.
Pendapat apabila sudah diterima oleh suatu kelompok orang maka akan
menjadi kebenaran bagi kelompok itu. Meskipun kitab-kitab suci dalam
berbagai agama dikategorikan sebagai wahyu dan bukan pendapat, tetapi
dalam implementasinya tetap menggunakan olah pikir alias pendapat. Dan,
pendapat tentunya dimaksudkan untuk menyamankan, memudahkan, dan
menimbulkan kesejahteraan umat. Itulah pendapat yang diperlukan!
Jadi, bukan kebenaran hakiki atau kebenaran harfiah suatu pendapat
yang perlu diperhatikan. Yang perlu diperhatikan adalah apakah pendapat
itu bisa digunakan untuk menimbulkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
umat manusia, minimal bagi mereka yang meyakini pendapat itu. Dan, yang
perlu kita tolak adalah pendapat yang menimbulkan kezaliman,
kesengsaraan dan kriminalitas bagi manusia.
Nah, ajaran pokok yang pertama dari Syekh Siti Jenar
adalah tidak mengabsolutkan pendapat. Pendapat boleh diperdebatkan,
akan tetapi pendapat tidak untuk melindas pendapat orang lain. Munculnya
berbagai mazhab dalam berbagai agama di dunia membuktikan bahwa ajaran
agama pasca pendirinya sebenarnya merupakan pendapat yang dikembangkan
dari ajaran asal agama itu. Jadi, kebenaran pendapat adalah kebenaran
yang dibangun atas akseptabilitas masyarakat atau komunitas tempat
pendapat itu berkembang.
Ajaran pokok yang kedua adalah menjadi manusia hakiki, yaitu manusia yang merupakan perwujudan dari hak, kemandirian, dan kodrat.
Hak. Kebanyakan kita berpendapat bahwa kita harus mendahulukan
kewajiban daripada hak. Perhatikanlah para pejabat kita selalu menuntut
rakyat untuk menjalankan kewajibannya dulu sebelum mendapatkan haknya.
Warga dituntut membayar pajak, mematuhi undang-undang dan peraturan yang
ditentukan oleh para elite politik, dan melaksanakan berbagai macam
kepatuhan. Menurut Syekh Siti Jenar, harus ada hak hidup lebih dulu.
Inilah kebenaran! Tak ada kewajiban apa pun yang bisa diberikan kepada
seorang bayi yang baru dilahirkan. Oleh karena itu, begitu seorang bayi
manusia dilahirkan semua hak-haknya sebagai manusia harus dipenuhi
terlebih dahulu.
Tidak peduli ia dilahirkan di keluarga kaya atau miskin, hak memperoleh
pengasuhan, perawatan, penjagaan, perlindungan, dan mendapatkan
pendidikan harus dipenuhi. Hak-hak tersebut dipenuhi agar ia menjadi
manusia yang dapat menjalankan kewajibannya sebagai anggota keluarga,
masyarakat, dan negara. Dengan cara itu akhirnya ia menjadi manusia
hakiki, manusia sebenarnya yang dapat berkiprah dalam kehidupan nyata,
baik sebagai pribadi maupun warga sebuah negara. Salah satu unsur untuk
menjadi manusia yang hidup merdeka terpenuhi.
Kemandirian. Pemenuhan hak dan kewajiban barulah tahap awal untuk
menjadi manusia hakiki. Tahap berikutnya adalah mendidik, mengajar, dan
melatihnya agar bisa menjadi manusia yang hidup mandiri. Ia harus
diarahkan agar mampu hidup yang tidak tergantung pada orang lain. Dengan
demikian, kehidupan mandiri akan tercapai bila terjadi
kesalingtergantunga n antar anggota masyarakat dan sekaligus kemerdekaan
(interdependence and independence) .
Perhatikanlah keadaan ekonomi masyarakat Indonesia sekarang ini. Kita
amat sangat tergantung pada bantuan atau hutang luar negeri. Negara
yang dilimpahi kekayaan alam yang luar biasa ini justru dihisap oleh
negara-negara maju di dunia ini. Setiap bayi yang dilahirkan yang
seharusnya merupakan aset negara, ternyata tumbuh menjadi
manusia-manusia pencari kerja dan bahkan menjadi beban negara. Hal ini
disebabkan terjadinya manusia-manusia yang tergantung pada orang lain.
Hubungan yang terjadi adalah hubungan orang-orang lemah dengan
orang-orang kuat. Yang lemah merasa sangat memerlukan yang kuat,
sedangkan yang kuat berbuat tidak semena-mena terhadap mereka yang
lemah.
Akibat dari keadaan tersebut tambah tahun pengangguran akan semakin
bertambah besar. Yang menjadi gantungan relatif tetap, sedangkan yang
menggatungkan diri bertambah banyak. Terjadi relasi yang tidak seimbang,
sehingga kehidupan masyarakat menjadi rawan.
Kodrat. Inilah unsur berikutnya yang menopang asas hak dan kemandirian
dalam kehidupan masyarakat. Kodrat pada manusia merupakan kuasa pribadi.
Kodrat tidak didapat dari luar diri. Dengan demikian kodrat tidak
berasal dari pelatihan dan pendididikan. Tetapi kodrat harus diberikan
ruang yang kondusif agar suatu bentuk kemampuan khusus yang
dianugerahkan pada setiap orang bisa terwujud. Dalam hal ini, pelatihan
akan meningkatkan kualitas kodrat yang dimiliki seseorang.
Dalam psikologi kodrat dapat dikatakan hampir sama dengan talenta.
Bila seseorang tidak diberikan kesempatan untuk dapat mengaktualisasikan
dirinya, maka kodratnya kemungkinan besar tak akan terwujud. Padahal,
kodrat yang ada pada diri seseorang itulah yang bisa menjadi sarana
untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya. Bila setiap orang bisa
mewujudkan kodratnya, maka akan terwujud hubungan yang saling memberikan
dan sekaligus saling membutuhkan. Setiap orang akan memiliki nilai
tawar bagi orang lain.
Harmonisasi dan ikatan antar warga negara akan menguat bila sebagian
besar penduduknya bisa mewujudkan ketiga unsur manusia hakiki tersebut.
Keragaman masyarakat pun kecil dan kesenjangan ekonomi dapat dinihilkan.
Akhirnya jati diri manusia akan muncul dengan sendirinya, dan kita akan
menjadi bangsa yang kokoh dan tidak mudah diprovokasi.
Ajaran pokok Syekh yang ketiga adalah hubungan
antara satu orang dengan orang lain merupakan hubungan kodrat dan
iradat. Hubungan satu orang dengan orang lain bagaikan hubungan kerja
dalam satu tim, sehinga tidak terjadi hubungan posisi yang memerintah
dan yang diperintah. Tak ada hubungan kekuasaan. Antara manusia yang
satu dengan yang lain terikat oleh kodrat dan iradatnya, sehingga
seperti hubungan sel yang yang satu dengan sel lainnya dalam satu tubuh,
dan hubungan organ yang satu dengan organ lainnya dalam satu tubuh.
Kalau kita amati cara kerja organ-organ dalam tubuh manusia, maka
kita akan ketahui bahwa masing-masing organ –seperti otak, penglihatan,
penciuman, pendengaran, paru-paru, jantung, hati, ginjal, usus, dan
lain-lain– akan bekerja sama, dan masing-masing menjalankan peranannya.
Seharusnya kehidupan masyarakat manusia juga demikian. Dengan mewujudkan
masyarakat yang berupa kumpulan manusia-manusia hakiki, masing-masing
orang atau kelompok menjalankan fungsinya dengan benar, maka akan
terbentuk kehidupan yang sehat dan tidak terjadi penghisapan antara
orang yang satu terhadap orang lainnya. Inilah kehidupan dunia yang
didambakan oleh Syekh Siti Jenar, yang justru sekarang tumbuh dan
berkembang di negara maju.
Ajaran pokok yang keempat : segala sesuatu di alam
semesta ini adalah satu dan hidup. Dalam salah satu pupuhnya disebutkan
bahwa bumi, angkasa, samudra, gunung dan seisinya, semua yang tumbuh di
dunia, angin yang tersebar di mana-mana, matahari dan rembulan, semuanya
merupakan keadaan hidup. Jadi, semua yang ada merupakan wujud
kehidupan.
Menurut Syekh Siti Jenar yang dinamakan makhluk hidup adalah
kehidupan yang terperangkap dalam alam kematian. Zat mati tak akan dapat
menimbulkan kehidupan, sedangkan zat hidup tak akan tersentuh kematian.
Tuhan disebut zat yang mahahidup karena Dia eksis karena Diri-Nya
sendiri. Kekuatan hidup-Nya mengalir dalam alam kematian sehingga muncul
sebagai makhluk hidup. Sekarang bandingkan dengan tulisan-tulisan dari
Barat dewasa ini, akan kita temukan pernyataan mereka bahwa semuanya
satu, semuanya hidup. Dengan demikian, pandangan Syekh Siti Jenar luar
biasa. Banyak pandangannya yang justru bersesuaian dengan pandangan kaum
teosofi maupun para spiritualis dari Barat.
Bila kita menyadari bahwa lingkungan kita adalah keadaan yang hidup,
maka tentu kita akan memperlakukan lingkungan kita dengan sebaik-baiknya
karena kita dan lingkungan kita sebenarnya satu dan sama-sama sebagai
keadaan yang hidup. Bila kita menyadari tentu kita akan berhati-hati
dalam memperlakukan lingkungan kita.
Ajaran pokok yang kelima: pemahaman tentang ilmu
sejati. Dikisahkan dalam Serat Siti Jenar yang ditulis oleh Aryawijaya:
Sejati jatining ngèlmu, lungguhé cipta pribadi, pustining pangèstinira,
gineleng dadya sawiji, wijanging ngèlmu dyatmika, nèng kahanan eneng
ening. Hakikat ilmu sejati itu terletak pada cipta pribadi, maksud dan
tujuannya disatukan adanya, lahirnya ilmu unggul dalam keadaan sunyi dan
jernih.
Menurut Syekh Siti Jenar manusia haruslah kreatif karena manusia
telah diberi anugerah oleh Yang Mahakuasa untuk dapat mengaktualisasikan
ilmunya yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Jadi, ilmu sejati
bukanlah ilmu yang kita terima dari orang lain. Yang kita dapatkan
melalui indra, pengajaran dari orang lain, itu hanyalah refleksi ilmu.
Dan, ternyata sejak abad ke-20 pemahaman bahwa ilmu lahir dari kedalaman
batin telah menjadi pemahaman yang universal. Itulah sebabnya
orang-orang Barat tekun dalam melakukan perenungan dan pengkajian
terhadap tanda-tanda di alam semesta.
Jadi, harus ada suasana
kondusif bagi orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuan. Suasana
kondusif bagi ilmuwan adalah iklim kerja yang membuat ilmuwan tersebut
dapat bekerja dengan tenang, nyaman, dan bebas dari berbagai penyebab
kekalutan dan kesulitan. Dan, tentunya hak-hak untuk dapat menjadi
ilmuwan sejati haruslah dipenuhi. Ingat, setiap orang telah diberi
potensi dan talenta yang disebut kodrat. Dan, bagi mereka yang memiliki
kodrat untuk menjadi ilmuwan harus disediakan iklim kerja yang kondusif
sehingga bisa menghasilkan hal-hal yang dibutuhkan manusia.
Ajaran pokok yang keenam: umumnya orang hidup saling
membohongi. Banyak hal yang sebenarnya kita sendiri tidak tahu, tapi
kita menyampaikannya juga kepada teman-teman kita. Hal ini banyak sekali
terjadi dalam ajaran agama. Banyak orang yang sekadar hafal dalil,
tetapi sebenarnya dia tidak mengetahui apa yang dimaksud oleh dalil itu.
Akhirnya pemahaman yang keliru itu menyebar dan terbentuklah opini yang
salah.
Masyarakat yang dipenuhi dengan pemahaman dan opini yang salah sama
dengan masyarakat yang dipenuhi sampah. Masyarakat demikian pasti rawan
terhadap serangan penyakit. Oleh karena itu, masyarakat harus dibebaskan
dari berbagai macam kebohongan. Masyarakat harus diajar dan dididik
untuk memahami segala sesuatu seperti apa adanya.
Agar tidak hidup saling membohongi manusia harus kembali mengenal
dirinya. Setiap orang harus dididik untuk menyadari perannya dalam hidup
ini. Para cerdik cendekia harus mengerti fungsinya di dunia. Orang
harus diajar untuk bisa mengerti dunia ini sebagaimana adanya. Agama
harus diajarkan sebagai jalan hidup dan bukan alat untuk meraih
kekuasaan. Oleh karena itu, keimanan harus diajarkan dengan benar dan
bukan sekadar diajarkan sebagai kepercayaan. Iman harus diajarkan
sebagai penghayatan, pengalaman, dan pengamalan kebenaran.
Ayat-ayat kitab suci harus dipahami berdasarkan kenyataan, dan tidak
diindoktrinasikan serta diajarkan secara harfiah sesuai dengan asal
kitab suci tersebut. Agama harus diajarkan secara arif dan bisa
dibumikan, tidak terus menggantung di langit. Agama harus diterjemahkan
dalam bentuk yang dapat dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat
penerimanya.
Ajaran pokok yang ketujuh: nama Tuhan diberikan oleh
manusia. Lima ratus tahun yang lalu Syekh telah menyatakan dengan tegas
bahwa manusialah yang memberikan nama pada Tuhan. Oleh karena itu, nama
bagi Tuhan bermacam-macam sesuai dengan bahasa dan bangsa yang
menamai-Nya. Dan, perlu diketahui bahwa Tuhan sendiri sebenarnya tidak
perlu nama, karena Dia hanya satu adanya. Sesuatu diberi nama karena
untuk membedakan dengan sesuatu lainnya. Nama diberikan agar kita tidak
keliru tunjuk atau salah sebut.
Bagi Syekh Siti Jenar, apapun sebutan yang diberikan kepada-Nya
haruslah sebutan yang terpuji, yang baik, yang pantas. Bahkan dalam
Alquran dinyatakan dengan tegas pada Q. 7:180 bahwa manusia diperintah
untuk memohon kepada-Nya dengan nama-nama baik-Nya, atau al-asmâ-u
l-husnâ. Dan, pada Q.17:110 dinyatakan bahwa Dia dapat diseru dengan
nama Allah, Ar Rahman, atau dengan nama-nama baik-Nya yang lain.
Sungguh, sangat mengherankan bila di zaman sekarang ini kita berebut
nama Tuhan. Secara teoritis umat Islam dididik untuk meyakini bahwa
Tuhan itu Yang Maha Esa. Tetapi, dalam kenyataannya sebagian orang Islam
–seperti yang terjadi di Malaysia – malah meminta orang yang beragama
lain untuk tidak menggunakan lafal Allah bagi sebutan Tuhan pada agama
lain tersebut. Inilah pemahaman yang salah! Kalau kita –yang Muslim—
menolak pemeluk agama lain menyebut Allah bagi Tuhannya, maka secara tak
sadar kita mengakui bahwa Tuhan itu lebih dari satu.
Sudah waktunya kita ajarkan ketuhanan dengan benar sehingga kita tidak berebut tulang tanpa isi.
Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa mengamalkan nilai-nilai ketuhanan
dengan benar itulah yang amat penting dalam hidup ini. Bagi orang
Indonesia , menghayati dan mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan
benar merupakan penegakan Sila yang pertama.
Ajaran pokok yang kedelapan: raja agama sesungguhnya
raja penipu. Sebagaimana telah diterangkan bahwa agama adalah jalan
hidup. Oleh karena itu, agama harus diajarkan untuk menjadi jalan hidup,
sehingga pemeluk agama bisa hidup tenang, bahagia dan bersemangat dalam
menjalani hidup. Agama harus diajarkan untuk menjadi landasan moral dan
perilaku, sehingga agama benar-benar sebagai nilai luhur dan menjadi
rahmat bagi semesta alam.
Syekh tidak ingin membohongi masyarakat Jawa, oleh karena itu agama
islam diajarkan dengan cara yang pas bagi bumi dan manusia Jawa. Untuk
hal itu diperlukan penafsiran, dan tidak disebarkan dalam bentuk budaya
asalnya. Agama tidak disebarkan dengan kekuasaan raja, sebab menurut
Syekh raja yang memanfaatkan agama adalah raja penipu. Sering terjadi
bahwa untuk memenuhi kepentingan penguasa, agama dijadikan alat
menguasai rakyat. Agama yang seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang
terjadi justru sebaliknya yaitu rakyat yang dikuasai oleh agama.
Jika di Eropa pada abad ke-19 orang-orang mulai mempertanyakan
peranan agama, dan bahkan ada yang memandang bahwa agama sebagai candu
bagi masyarakat dan harus disingkirkan dari gelanggang kehidupan
bernegara, maka empat ratus tahun sebelumnya Syekh Siti Jenar justru
ingin menerapkan agama sebagai penyegar dan pencerah bagi pemeluknya.
Oleh karena itu, agama diajarkan tanpa melibatkan kekuasaan negara. Di
sinilah Syekh bertabrakan dengan kepentingan Walisanga.
Syekh amat sadar bahwa di dunia ini penuh dengan tipu daya. Hampir di
semua negara pada waktu itu terjadi relasi keuasaan antara
raja/penguasa dengan para tokoh agama. Dengan kata lain, raja dan tokoh
agama berbagi kekuasaan. Yang dikuasai dan yang dijadikan pijakan hidup
oleh raja dan tokoh agama adalah rakyat. Inilah yang oleh Syekh disebut
sebagai penipuan. Oleh karena itu, sudah waktunya agar agama benar-benar
menjadi milik masyarakat, dan negara tidak mengurusi agama. Yang
diurusi oleh negara adalah tegaknya hukum positif, perlindungan bagi
setiap orang tanpa memandang agama dan kepercayaannya. Yang diurusi oleh
negara adalah kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
Ajaran pokok yang kesembilan: segala sesuatu di alam semesta adalah
Wajah-Nya. Inilah ajaran puncak dari Syekh Siti Jenar. Dunia adalah
manifestasi wujud yang satu, dan hakikat keberadaan bukanlah dualitas.
Sehingga, kemana pun kita hadapkan diri kita, maka sesungguhnya kita
senantiasa menghadap Wajah-Nya. Semua adalah penampakan Wajah-Nya.
Sekarang marilah kita cicipi dua bait puisi dari Syekh Siti Jenar.
Bersanggama dalam keberadaan
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi
Lahir batin keberadaan sukma
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini
Jadi, pada puncak perenungan dan keheningan diri terjadilah
penegasian eksistensi diri yang terkurung raga. Ditegaskan bahwa
kehambaan telah lenyap, sudah hilang. Bila kehambaan masih tetap eksis
maka di alam semesta ini masih berada dalam keadaan dualitas. Keadaan
inilah yang menyebabkan orang terpisah dengan Tuhannya, meskipun secara
konseptual diketahui bahwa Sang Pencipta lebih dekat daripada urat
lehernya. Akan tetapi, selama keadaan dualitas belum sirna maka secara
faktual Tuhan masih jauh daripada urat lehernya, karena Tuhan dianggap
berada di luar dirinya.
Ada dualitas artinya kita mengakui ada dua keberadaan, yaitu ada yang
inferior (keberadaan yang kualitasnya lebih rendah) dan ada yang
superior (keberadaan yang kualitasnya lebih tinggi). Jika demikian,
kedua jenis keberadaan itu tumbuh melalui proses. Semua yang tumbuh
melaui suatu proses, bukanlah keberadaan yang kekal. Dan, bilamana tiada
keberadaan yang kekal, maka tak mungkin ada fenomena atau penampakan di
alam semesta.
Kita hidup di dunia ini karena kita kanggonan (didiami) urip (hidup)
yang diberikan oleh Tuhan. Namun, badan jasmani ini hanyalah fenomena
yang terikat oleh ruang, waktu, situasi psikologis. Hakikatnya badan
jasmani ini tidak ada karena badan jasmani ini seperti gambar yang
menumpang di layar perak atau layar kaca. Kalau layar digulung atau
dimatikan ya lenyaplah fenomena tersebut. Jadi, memang benar bahwa dunia
ini panggung sandiwara, dan kita adalah pemain-pemain sandiwara. Oleh
karena itu, kita harus dapat memainkan peran kita masing dengan baik.
Lalu, apa sasaran utama pelenyapan dualitas? Sasaran pokoknya adalah
menumbuhkan kesadaran akan ke-Satu-an, Oneness, dalam kehidupan ini,
baik kehidupan kita sebagai individu maupun secara kolektif. Dengan
lenyapnya perasaan dualitas dalam hidup ini, maka jarak antara kawula
dan Gusti akan hilang. Akan lahir individu-individu yang menjadi dirinya
sendiri, dan dalam kehidupan sosial akan tercipta interaksi antar
warganya secara tim, sehingga semua akan memenuhi fungsinya
masing-masing dalam kehidupan. Sekat antara pemimpin dan yang dipimpin
akan hilang, dinding penyekat antara raja dan rakyatnya akan runtuh.
Bila ini sudah terjadi, maka tak akan ada lagi eksploitasi terhadap
sesama manusia.
Pelenyapan sekat antara kawula (hamba, rakyat, atau bawahan) dan
Gusti (raja, pemimpin, atau atasan) akan melahirkan satu keberadaan yang
disebut Manunggaling Kawula Gusti. Keberadaan MKG ini akan menggugurkan
kehidupan yang berkasta dan merontokkan feodalisme. Relasi sesama
manusia berupa simbiose mutualisme, yaitu hubungan yang saling
menguntungkan. Sesama manusia hidup dalam suasana liberte, egalite dan
fraternite, yaitu hidup dalam kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan
antara sesama manusia di dunia ini. Dari sinilah Syekh membangun
hubungan warga dengan wadah yang disebut masyarakat, yang tidak dijumpai
di Timur Tengah pada waktu itu.
Memang masyarakat merupakan kosa kata yang dibentuk dari unsur-unsur
kata Arab, yaitu dari syarika yang artinya menjadi sekutu; dan
masyarakat adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu. Jadi, setiap
anggota masyarakat itu seperti sel-sel tubuh yang independen, namun
selalu berinteraksi sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing.
Setiap anggota masyarakat mengetahui tugasnya. Terciptalah jalinan
kasih. Inilah surga yang sesungguhnya yang harus diwujudkan di dunia
ini. Dengan demikian, konsep MKG sebenarnya untuk menciptakan kehidupan
bersama dalam mencapai kejayaan!
Achmad Chodjim
Jakarta, 21 Mei 2009 Kediaman Bpk. Achmad Chodjim, materi ini juga di
sampaikan di Hotel Indonesia Kempinski-Grand Indonesia, 19 Mei 2009
*) Ir. Achmad Chodjim MM, adalah penulis buku “Syekh Siti jenar:
Makna Kematian (jilid 1)”, “Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna
Kehidupan (jilid 2)” dan “Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga”.
Bagi saudara yang mau mendapatkan Audio penjelasan, silahkan bergabung di mailing list
Tidak ada komentar:
Posting Komentar