CONTOH LEADERSHIP PUNAKAWAN
ABDI KINASIH KESATRIA PENDHAWA LIMA
KI LURAH SEMAR BADRANAYA, NALA GARENG,
PETRUK KANTHONG BOLONG DAN KI LURAH BAGONG
“Tanggap ing sasmita dan Limpat Pasang ing Grahita, dan Cakra-Manggilingan”
“Pinangka mrih hamemayu hayuning bawana”
“Puna” atau “pana”
dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat,
mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik
kejadian-peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan
mempunyai makna yang menggambarkan seseorang yang menjadi teman, yang
mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna segala
fenomena dan kejadian alam serta peristiwa dalam kehidupan manusia. Punakawan
dapat pula diartikan seorang pengasuh, pembimbing yang memiliki
kecerdasan fikir, ketajaman batin, kecerdikan akal-budi, wawasannya
luas, sikapnya bijaksana, dan arif dalam segala ilmu pengetahuan.
Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan tindakannya sama,
tidaklah bertentangan. Khasanah budaya Jawa menyebutnya sebagai “tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita”. Dalam istilah pewayangan terdapat makna sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu
yakni rambut yang tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan gambaran
karakter pribadi Ki Lurah Semar tersebut berguna dalam upaya
melestarikan alam semesta, dan menciptakan kemakmuran serta
kesejahteraan di bumi pertiwi.
Dalam cerita pewayangan Jawa, punakawan
tersebut dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing memiliki
peranan yang sama sebagai penasehat spiritual dan politik, namun
masing-masing mengasuh tokoh yang karakternya saling kontradiksi.
Kelompok ini terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sunda: Cepot). Mereka menggambarkan kelompok punakawan
yang jujur, sederhana, tulus, berbuat sesuatu tanpa pamrih, tetapi
memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan mata batinnya sangat
tajam. Ki Lurah Semar, khususnya, memiliki hati yang “nyegoro” atau
seluas samudra serta kewaskitaan dan kapramanan-nya
sedalam samudra. Hanya satria sejati yang akan menjadi asuhan Ki Lurah
Semar. Semar hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang bertugas
mengemban/momong para kesatria sejati.
Ki Lurah Semar disebut pula Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya, karena eksistensinya yang teramat misterius sebagai putra Sang Hyang Tunggal umpama dewa mangejawantah. Sedangkan julukan Ismaya artinya tidak wujud secara wadag/fisik, tetapi yang ada dalam keadaan samar/semar. Dalam uthak-athik-gathuk secara Jawa, Ki Semar dapat diartikan guru sejati (sukma sejati), yang ada dalam jati diri kita. Guru sejati merupakan hakekat Zat tertinggi yang terdapat dalam badan kita. Maka bukanlah hal yang muskil bila hakekat guru sejati yang disimbolkan dalam wujud Ki Lurah Semar, memiliki kemampuan sabda pendita ratu, ludahnya adalah ludah api (idu geni). Apa yang diucap guru sejati
menjadi sangat bertuah, karena ucapannya adalah kehendak Tuhan. Para
kesatria yang diasuh oleh Ki Lurah Semar sangat beruntung karena
negaranya akan menjadi adil makmur, gamah ripah, murah sandang pangan,
tenteram, selalu terhindar dari musibah.
Tugas punakawan
dimulai sejak kepemimpinan Prabu Herjuna Sasrabahu di negeri Maespati,
Prabu Ramawijaya di negeri Pancawati, Raden Sakutrem satria Plasajenar,
Raden Arjuna Wiwaha satria dari Madukara, Raden Abimanyu satria dari
Plangkawati, dan Prabu Parikesit di negeri Ngastina. Ki Lurah Semar
selalu dituakan dan dipanggil sebagai kakang, karena dituakan
dalam arti kiasan yakni ilmu spiritualnya sangat tinggi, sakti
mandraguna, berpengalaman luas dalam menghadapi pahit getirnya
kehidupan. Bahkan para Dewa pun memanggilnya dengan sebutan “kakang”.
Kelompok punakawan ini bertugas :
- Menemani (mengabdi) para bendhara (bos) nya yang memiliki karakter luhur budi pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus “pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari masa ke masa.
- Dalam
cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual,
pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di
kala susah.
- Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena
atau saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas
dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat. Namun di dalamnya selalu
terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar.
- Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang bendhara mengalami kesedihan.
- Pada intinya, Ki Lurah Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa (nafsu al mutmainah). Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr ma’ruf.
Adapun watak kesatria adalah: halus, luhur budi pekerti, sabar, tulus, gemar menolong, siaga dan waspada, serta bijaksana.
Kelompok Ki Lurah Togog
Kelompok ini terdiri tiga personil yakni: Ki Lurah Togog (Sarawita) dan Mbilung. Punakawan ini bertugas menemani bendhara-nya yang berkarakter dur angkara
yakni para Ratu Sabrang. Sebut saja misalnya Prabu Baladewa di negeri
Mandura, Prabu Basukarna di negeri Ngawangga, Prabu Dasamuka (Rahwana)
di negeri Ngalengka, Prabu Niwatakawaca di negeri Iman-Imantaka dan
beberapa kesatria dari negara Sabrangan yang berujud (berkarakter)
raksasa; pemarah, bodoh, namun setia dalam prinsip. Lurah Togog disebut
pula Lurah Tejamantri. Ki Togog dkk secara garis besar bertugas mencegah
asuhannya yang dur angkara, untuk selalu eling dan waspadha, meninggalkan segala sifat buruk, dan semua nafsu negatif. Beberapa tugas mereka antara lain:
1. Mereka bersuara lantang untuk selalu memberikan koreksi, kritikan dan saran secara kontinyu kepada bendhara-nya.
2. Memberikan pepeling kepada bendhara-nya agar selalu eling dan waspadha jangan menuruti kehendak nafsu jasadnya (rahsaning karep).
Gambaran tersebut sesungguhnya memproyeksikan pula karakter dalam diri manusia (jagad alit).
Sebagaimana digambarkan bahwa kedua kesatria di atas memiliki karakter
yang berbeda dan saling kontradiktori. Maknanya, dalam jagad kecil (jati diri manusia) terdapat dua sifat yang melekat, yakni di satu sisi sifat-sifat kebaikan yang memancar dari dalam cahyo sejati
(nurulah) merasuk ke dalam sukma sejati (ruhulah). Dan di sisi lain
terdapat sifat-sifat buruk yang berada di dalam jasad atau ragawi.
Kesatria yang berkarakter baik diwakili oleh kelompok Pendawa Lima
beserta para leluhurnya. Sedangkan kesatria yang berkarakter buruk
diwakili oleh kelompok Kurawa 100. walaupun keduanya masing-masing sudah
memiliki penasehat punakawan, namun tetap saja terjadi
peperangan di antara dua kelompok kesatria tersebut. Hal itu
menggambarkan betapa berat pergolakan yang terjadi dalam jagad alit
manusia, antara nafsu negatif dengan nafsu positif. Sehingga dalam
cerita pewayangan digambarkan dengan perang Brontoyudho antara kesatria momongan Ki Lurah Semar dengan kesatria momongan Ki Togog. Antara Pendawa melawan Kurawa 100. Antara nafsu positif melawan nafsu negatif. Medan perang dilakukan di tengah Padhang Kurusetra, yang tidak lain menggambarkan hati manusia.
1. Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup)
Membahas
Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar
sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya,
Semar digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang
telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada
lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar
penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara
nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang
menyangkal akan menjadi ragu. Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon
dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia Jawa. Menurut
jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali setelah
500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada
momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya
kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para
satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat. Selain menjadi penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya dalam keadaan bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng
sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat
jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual,
Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati,
tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah
tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan.
Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik
ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya
pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan
figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga
kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare
artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang
ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif.
Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak wantun
kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi,
tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak
lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.
Dalam khasanah spiritual Jawa, khususnya mengenai konsep manunggaling kawula Gusti, Ki Lurah Semar dapat menjadi personifikasi hakekat guru sejati setiap manusia. Semar adalah samar-samar, sebagai perlambang guru sejati atau sukma sejati
wujudnya samar bukan wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata.
Sedangkan Pendawa Lima adalah personifikasi jasad/badan yang di dalamnya
terdapat panca indera. Karena sifat jasad/badan cenderung lengah dan
lemah, maka sebaik apapun jasad seorang satria, tetap saja harus diasuh
dan diawasi oleh sang guru sejati agar senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya jasad/badan memiliki keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati. Guru sejati merupakan pengendali seseorang agar tetap dalam “laku” yang tepat, pener dan berada pada koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong
Ki Lurah Semar beserta Gareng, Petruk, Bagong, ia akan celaka, jika
satria maka di negerinya akan mendapatkan banyak malapetaka seperti :
musibah, bencana, wabah penyakit (pageblug), paceklik. Semua itu sebagai bebendu karena manusia (satria) yang ditinggalkan guru sejati-nya telah keluar dari jalur bebener.
Jika ditinjau dari perspektif politik, kelompok Punakawan
Ki Lurah Semar dan anak-anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai lambang
dari lembaga aspirasi rakyat yang mengemban amanat penderitaan rakyat.
Atau semacam lembaga legislatif. Sehingga kelompok punakawan ini
bertugas sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan kritikan, nasehat,
dan usulan. Berkewajiban sebagai pengontrol, pengawas, pembimbing
jalannya pemerintahan di bawah para Satria asuhannya yakni Pendhawa Lima
sebagai lambang badan eksekutif atau lembaga pemerintah. Dengan
gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa sejak masa lampau telah
dikenal sistem politik yang demokratis.
2. Nala Gareng
Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering,
yang berarti menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita.
Maknanya adalah perlambang “laku” prihatin. Namun Nala Gareng
diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama
disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuk netepi
kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita, kesedihan,
nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng
merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya
Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah
atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak
sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan
hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar
manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur
(belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak
merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman,
baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang
menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi,
sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai
pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada
dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan
marabahaya.
3. Petruk Kanthong Bolong
Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala
atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga,
mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena
Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara
fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini
merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang
pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam
bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko
akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel.
Dawala, juga menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya di kahyangan (alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang masih hidup di mercapada.
Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan tuntunan dari para
leluhurnya, sehingga Lurah Petruk memiliki kewaskitaan mumpuni dan mampu
menjadi abdi dalem (pembantu) sekaligus penasehat para kesatria.
Petruk
Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang
berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan
penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di
hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk
benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah
kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran,
kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota
Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
4. Bagong
Bagong
adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah
bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon,
untuk mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang
teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata
seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah
bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan
Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar
tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun
memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan menanggung malu,
dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi
situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah
Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang
tangguh, selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong
termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati
para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
Dalam pagelaran wayang kulit, kelompok punakawan
Semar, Gareng, Petruk, Bagong selalu mendapatkan tempat di hati para
pemirsa. Punakawan tampil pada puncak acara yang ditunggu-tunggu pemirsa
yakni goro-goro, yang menampilkan berbagai adegan dagelan,
anekdot, satire, penuh tawa yang berguna sebagai sarana kritik membangun
sambil bercengkerama (guyon parikena). Punakawan menyampaikan
kritik, saran, nasehat, maupun menghibur para kesatria yang menjadi
asuhan sekaligus majikannya. Suara punakawan adalah suara rakyat jelata
sebagai amanat penderitaan rakyat, sekaligus sebagai “suara” Tuhan
menyampaikan kebenaran, pandangan dan prinsip hidup yang polos, lugu
namun terkadang menampilkan falsafah yang tampak sepele namun memiliki
esensi yang sangat luhur. Itulah sepak “terjang punakawan” bala tengen yang suara hatinuraninya selalu didengar dan dipatuhi oleh para kesatria asuhan sekaligus majikannya.
Kepemimpinan Punakawan Kontroversial
Dalam
cerita wayang sebagaimana kisah-kisah dalam legenda lainnya, terdapat
kelompok antagonis. Dalam cerita wayang tokoh-tokoh antagonis berasal
dari negri seberang atau Sabrangan. Punakawan Togog atau Tejamantri,
Sarawita dan Mbilung merupakan punakawan kontroversif yang selalu
membimbing tokoh pembesar antagonis, para “ksatria” angkara murka (dur angkara),
hingga para pimpinan raksasa jahat. Sebut saja misalnya Prabu Dasamuka,
Prabu Niwatakawaca, Prabu Susarma, hingga para kesatria dur angkara
dari Mandura seperti Raden Kangsa dan seterusnya. Pada intinya Ki Lurah
Togog dkk selalu berada di pihak tokoh antagonis, sehingga disebut
sebagai bala kiwa. Namun demikian bukan berarti kelompok punakawan ini memiliki karakter buruk.
Ciri
fisik Togog dkk memiliki mulut yang lebar. Artinya mereka selalu
berkoar menyuarakan kebaikan, peringatan (pepeling) kepada majikannya
agar tetap waspada dan eling, menjadi manusia jangan berlebihan. Ngono ya ngono ning aja ngono.
Manusia harus mengerti batas-batas perikemanusiaan. Sekalipun akan
mengalahkan lawan atau musuhnya tetap harus berpegang pada etika seorang
kesatria yang harus gentle, tidak pengecut, dan tidak
memenangkan perkelahian dengan jalan yang licik. Sekalipun menang tidak
boleh menghina dan mempermalukan lawannya (menang tanpa ngasorake).
Itulah ajaran Ki Lurah Togog dkk yang sering kali diminta nasehat dan
saran oleh para majikannya. Namun toh akhirnya setiap nasehat, saran,
masukan, aspirasi yang disampaikan Ki Lurah Togog dkk tetap saja tidak
pernah digubris oleh majikannya mereka tetap setia. Ki Lurah Togog dkk
walaupun menjabat posisi sentral sebagai penasehat, pengasuh dan
pembimbing, yang selalu bermulut lantang menyuarakan pepeling,
seolah peran mereka hanya sebagai obyek pelengkap penderita. Walaupun Ki
Lurah Togog dkk selalu gagal mengasuh majikannya para kesatria dur angkara,
hingga sering berpindah majikan untuk bersuara lantang mencegah
kejahatan. Bukan berarti mereka tidak setia. Sebaliknya dalam hal
kesetiaan sebagai kelompok penegak kebenaran,
Ki Lurah togog patut menjadi teladan baik. Karena sekalipun sering
dimaki, dibentak dan terkena amarah majikannya, Ki Lurah Togog dkk tidak
mau berkhianat. Sekalipun selalu gagal memberi kritik dan saran kepada
majikannya, mereka tetap teguh dalam perjuangan menegakkan keadilan. Dan
lagi-lagi, mereka selalu dimintai saran dan kritikan, namun serta-merta
diingkari pula oleh majikan-majikan barunya. Itulah nasib Togog dkk,
yang mengisyaratkan nasib rakyat kecil yang selalu mengutarakan aspirasi
dan amanat penderitaan rakyat namun tidak memiliki bargaining power. Ibarat menyirami gurun, seberapapun nasehat dan kritikan telah disiramkan di hati para “pemimpin” dur angkara,
tak akan pernah membekas dalam watak para majikannya. Barangkali nasib
kelompok punakawan Ki Lurah Togog dkk mirip dengan apa yang kini dialami
oleh rakyat Indonesia. Suara hati nurani rakyat sulit mendapat tempat
di hati para tokoh dan pejabat hing nusantara nagri.
Sekalipun sekian banyak pelajaran berharga di depan mata, namun
manifestasi perbuatan dan kebijakan politiknya tetap saja kurang populer
untuk memihak rakyat kecil. By sabdalangit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar